“Perjuangan Anak Kampung dalam Hutan Belantara”
.jpg)
Oleh : yonas Yogi
Fakulitas : psikologi
Universitas : Prokelamsi 45 yogykarta
Di era modernisasi dan globalisasi yang kian cepat, manusia sering merasa semakin berkuasa atas alam. Namun, justru dalam rasa berkuasa itu, kita sering kehilangan arah. Kita lupa bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan adalah jalan menuju kehancuran. Ada suara-suara kecil dari dalam hutan yang jarang terdengar: suara anak-anak kampung yang hidup sederhana, yang mungkin tak pernah muncul di layar televisi atau halaman media besar, tetapi memiliki kekuatan moral yang jauh lebih luhur daripada gedung-gedung pencakar langit. Mereka hidup bersahaja, tetapi hatinya luas seperti samudera. Mereka bukan sekadar penghuni hutan, melainkan penjaga kehidupan; bukan sekadar pewaris tanah leluhur, melainkan perawat nilai-nilai luhur yang dititipkan sejak zaman tete nene moyang.
Hutan, bagi mereka, bukan sekadar hamparan pepohonan atau lahan kosong yang bisa ditebang demi keuntungan sesaat. Hutan adalah rumah, sekolah, dan kitab kehidupan yang penuh hikmah. Dari hutan mereka belajar bahasa alam, memahami keheningan, dan mengerti makna kesederhanaan. Dalam setiap hembusan angin, mereka menemukan doa; dalam setiap kicau burung, mereka mendengar pesan; dan dalam setiap tetes air hujan, mereka membaca rahmat.
Sebagaimana Aristoteles pernah berkata, “Alam tidak pernah membuat sesuatu tanpa tujuan.” Maka, setiap pohon, setiap daun, bahkan setiap serangga di hutan, memiliki fungsinya sendiri dalam menjaga keseimbangan kehidupan. Ketika manusia menebang hutan dengan serakah, sejatinya mereka sedang merobek tujuan penciptaan itu sendiri. Oleh karena itu, perjuangan anak-anak kampung menjaga hutan adalah upaya suci untuk mempertahankan makna dan tujuan semesta.Melalui puisi, narasi, dan refleksi dalam buku ini, penulis berusaha merekam denyut nadi perjuangan mereka. Mereka berhadapan dengan para perampok hutan yang datang membawa mesin, modal, dan kekuasaan. Namun, meski sederhana, anak-anak kampung memiliki senjata yang jauh lebih kuat: keberanian yang lahir dari cinta, dan keteguhan yang lahir dari kesetiaan. Inilah yang pernah diingatkan Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil: “Keberanian lahir bukan dari ketiadaan rasa takut, melainkan dari kesadaran untuk tentang suara alam yang memberi inspirasi, ancaman yang menguji keteguhan hati, kisah perjuangan anak kampung yang penuh keberanian, renungan tentang makna hutan sebagai penopang kehidupan, serta harapan besar bagi tanah air di masa depan. Setiap bab bukan hanya kumpulan kata, tetapi sebuah ajakan moral, panggilan nurani, dan refleksi filsafat tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam
Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, “Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang.” Kutipan ini menggambarkan akar persoalan yang kita hadapi hari ini: bukan karena alam tidak mencukupi, tetapi karena keserakahan manusia yang melampaui batas. Buku ini hadir untuk mengingatkan kita bahwa bumi bukan hanya warisan nenek moyang, tetapi titipan yang harus dijaga bagi anak cucu.
Filsuf Tiongkok, Konfusius, juga pernah berkata: “Orang bijak menanam pohon, meski tahu ia tak akan duduk di bawah naungannya.” Pepatah ini relevan dengan semangat perjuangan anak-anak kampung: mereka menjaga hutan bukan hanya untuk diri mereka, tetapi untuk generasi yang mungkin tak akan mereka jumpai. Inilah cinta tanpa pamrih, cinta yang tidak menuntut balasan, tetapi memberi kehidupan. suarah Lebih jauh lagi, jika kita menengok pemikiran filsuf eksistensialis Albert Camus, ia pernah berkata: “Di tengah musim dingin yang dalam, aku akhirnya belajar bahwa dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.” Demikian pula dengan anak kampung dalam belantara: meski berada di bawah tekanan, ancaman, dan keterbatasan, mereka menemukan kekuatan dalam diri mereka sendiri untuk tetap bertahan, untuk terus hidup, dan untuk melawan demi masa depan.memilih melawan meski berada dalam ketakutan.” Sejauh mana kita peduli pada alam? Sejauh mana kita sadar bahwa udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan tanah yang kita pijak, semua bersumber dari keseimbangan alam yang terjaga? Menyakiti alam sama artinya dengan menyakiti diri sendiri. Melestarikan alam adalah bentuk syukur, sedangkan merusaknya adalah bentuk pengkhianatanbermanfaat, memberi inspirasi, dan menjadi pengingat bahwa sekecil apa pun langkah perjuangan kita, akan memberi arti besar bagi kelestarian bumi. Semoga pembaca tidak hanya menikmati indahnya kata, tetapi juga merasakan panggilan hati untuk turut berjuang menjaga hutan. Karena menjaga hutan pada hakikatnya adalah menjaga kehidupan, menjaga martabat manusia, dan menjaga masa depan peradaban.
Yogyakarta, September 2025
x






0 komentar:
Posting Komentar