|
NAMA |
: Youllanda Atika Salma |
|
NIM |
: 24310410205 |
|
KELAS |
: Psikologi Karyawan
|
UTS PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Foto yang menunjukkan kondisi perumahan di Amerika Selatan tersebut memang tampak kumuh, padat, dan tidak teratur sehingga banyak mahasiswa berpendapat bahwa tempat itu tidak layak untuk ditinggali. Namun, pada kenyataannya selalu ada orang yang bersedia tinggal di lingkungan seperti itu. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori persepsi lingkungan dari Paul A. Bell dan kawan-kawan (2001), yang menyatakan bahwa cara seseorang menilai dan merespons suatu lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik lingkungannya, tetapi juga oleh bagaimana individu memersepsi atau menafsirkan lingkungan itu berdasarkan pengalaman, kebutuhan, nilai, dan situasi sosialnya. Menurut skema persepsi Bell, proses ini dimulai dari adanya stimulus lingkungan, yaitu kondisi nyata seperti rumah-rumah sempit, cat kusam, atau sampah berserakan. Stimulus tersebut kemudian ditangkap oleh pancaindra dan diinterpretasikan secara subjektif oleh setiap orang. Pada tahap inilah faktor-faktor pribadi berperan besar, misalnya latar belakang ekonomi, nilai-nilai budaya, pengalaman hidup, dan harapan seseorang terhadap lingkungannya. Bagi orang yang hidup dengan ekonomi rendah, tempat tinggal yang terlihat kumuh bisa dipersepsikan bukan sebagai tempat buruk, tetapi sebagai tempat yang terjangkau, aman, dan fungsional. Mereka mungkin melihat lingkungan itu bukan dari sisi keindahan, melainkan dari sisi kebutuhan hidup dan rasa aman, karena mampu memberi mereka tempat berteduh dan kedekatan dengan sumber penghasilan. Selain itu, dalam banyak kasus, lingkungan padat seperti itu memiliki ikatan sosial yang kuat; para penghuni saling mengenal, saling membantu, dan hidup dalam kebersamaan. Rasa solidaritas sosial tersebut membuat mereka merasa nyaman secara psikologis, meskipun secara fisik lingkungan itu tidak ideal. Orang yang sudah lama tinggal di kawasan serupa juga akan lebih terbiasa dan memiliki toleransi perseptual yang tinggi terhadap kekumuhan, sehingga tidak merasa terganggu seperti orang luar. Bahkan, bagi sebagian penghuni, tempat itu memiliki nilai emosional — misalnya karena merupakan tempat mereka dibesarkan, dekat dengan keluarga, atau memiliki kenangan yang berharga. Selain faktor pribadi, ada pula faktor situasional dan sosial yang memengaruhi persepsi mereka, misalnya karena tidak memiliki pilihan lain, harga rumah di tempat lain terlalu mahal, atau karena lokasi perumahan tersebut dekat dengan tempat kerja dan fasilitas umum. Dalam beberapa budaya, hidup di lingkungan yang ramai dan dekat dengan banyak orang juga dianggap lebih baik daripada tinggal sendiri di tempat yang sepi, sehingga hal itu menambah persepsi positif terhadap lingkungan tersebut. Dari proses persepsi inilah akhirnya muncul respon atau perilaku, yaitu keputusan untuk tetap tinggal di perumahan itu. Mereka mungkin sadar bahwa lingkungan tersebut tidak ideal, tetapi karena persepsi mereka terhadap tempat itu sudah terbentuk secara positif, mereka merasa cukup puas dan bahkan bangga bisa memiliki tempat tinggal sendiri. Berdasarkan teori Bell dkk. (2001), persepsi menjadi dasar utama dari pembentukan keputusan dan perilaku. Maka, seseorang bersedia tinggal di perumahan kumuh bukan karena tidak peka terhadap kondisi lingkungannya, melainkan karena cara pandang, pengalaman, dan kebutuhannya membuat tempat itu terasa bermakna dan layak huni. Bagi orang luar, perumahan itu tampak tidak layak; tetapi bagi penghuninya, tempat itu adalah rumah yang memiliki fungsi, keamanan, dan rasa kebersamaan, yang semuanya jauh lebih berharga daripada penampilan fisiknya






0 komentar:
Posting Komentar