Selasa, 11 November 2025

UTS_Psikologi Lingkungan ":Mengapa Seseorang Bersedia Tinggal di Lingkungan Kumuh: Analisis Berdasarkan Skema Persepsi Paul A. Bell"

Mengapa Seseorang Bersedia Tinggal di Lingkungan Kumuh: Analisis Berdasarkan Skema

 Persepsi Paul A. Bell




Nama                          : Nunung Setyowati

NIM                            : 24310430208

Mata Kuliah                : Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu        : Arundati Shinta, M.Psi

Kelas                           : SP/SJ (Karyawan)

Semester                     : II (Genap) | Tahun Akademik: 2025/2026

Tanggal Publikasi       : 11 November 2025

Ketika pertama kali melihat foto perumahan di Amerika Selatan yang tampak kumuh, jujur aku merasa tidak nyaman. Rumah-rumahnya berdempetan, warna catnya kusam, dan lingkungan fisiknya terlihat jauh dari kata layak huni. Namun, ketika aku mempelajari materi dari Paul A. Bell (2001) tentang skema persepsi lingkungan, pandanganku mulai berubah. Bell menjelaskan bahwa persepsi seseorang terhadap lingkungannya terbentuk melalui proses yang kompleks, melibatkan interaksi antara stimulus fisik, karakteristik individu, pengalaman, serta budaya dan nilai sosial yang dianut. Dari sinilah aku mulai memahami bahwa keputusan seseorang untuk tinggal di lingkungan tersebut bukan semata karena keterpaksaan, tetapi karena cara mereka memaknai lingkungan itu berbeda dari orang lain.

Dalam skema persepsi Bell, terdapat tahapan yang menggambarkan bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungannya: mulai dari objek fisik, individu, persepsi, homeostasis, stress, coping, hingga adaptasi atau adjustment. Individu mungkin mengalami stres karena lingkungan kumuh yang tidak nyaman, tetapi seiring waktu, ia bisa beradaptasi (menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan) atau beradjustment (mengubah lingkungan agar sesuai dengan dirinya). Dalam konteks perumahan kumuh, penghuni bisa saja memilih bertahan karena telah beradaptasi dengan kondisi tersebut dan mampu membangun rasa nyaman di dalam keterbatasan. Hal ini sejalan dengan penjelasan Sarwono (1995) bahwa manusia memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya melalui keseimbangan psikologis yang dinamis.

Selain itu, Gibson (dalam Bell, 2001) melalui pendekatan ekologis menegaskan bahwa manusia mempersepsikan lingkungannya berdasarkan manfaat atau affordance yang diberikan oleh lingkungan itu. Artinya, lingkungan kumuh pun bisa dipandang positif jika memberikan rasa aman, kedekatan sosial, atau kemudahan akses pekerjaan bagi penghuninya. Mungkin bagi sebagian orang, perumahan itu bukan tempat yang kotor, melainkan ruang kehidupan yang hangat karena adanya solidaritas, interaksi sosial yang akrab, dan rasa memiliki terhadap komunitas.

Sebagai mahasiswa psikologi, aku melihat bahwa faktor sosial dan budaya juga memainkan peran besar. Dalam budaya masyarakat berpenghasilan rendah, konsep  dalam tanda kuti rumah bukan hanya bangunan fisik, tetapi simbol kebersamaan dan identitas sosial. Tempat yang tampak tidak layak bagi orang luar bisa menjadi ruang yang sarat makna bagi penghuninya. Mereka mungkin tidak memiliki pilihan ekonomi untuk pindah, namun secara psikologis, mereka telah membangun mekanisme coping positif seperti rasa syukur, gotong royong, dan adaptasi perilaku yang membuat lingkungan tersebut dapat ditoleransi.

Aku jadi merenung, bahwa persepsiku sendiri semula dibentuk oleh nilai-nilai kelas menengah yang identik dengan kebersihan dan estetika. Padahal, orang yang tinggal di kawasan seperti itu bisa jadi memiliki persepsi yang berbeda: mereka melihat fungsi dan kebermanfaatan, bukan sekadar penampilan fisik. Dalam kerangka behavior constraint theory, mereka tidak merasa terbelenggu oleh kondisi lingkungan, melainkan justru menemukan kebebasan dalam kemampuan menyesuaikan diri.

Belajar dari teori Bell, aku memahami bahwa persepsi terhadap lingkungan tidak bersifat universal, melainkan relatif dan kontekstual. Seseorang yang merasa bahagia di lingkungan sederhana mungkin memiliki tingkat penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada mereka yang hidup di tempat mewah tetapi penuh tekanan sosial. Dengan demikian, keputusan untuk tinggal di perumahan kumuh tidak bisa dipandang dari kacamata estetika semata, melainkan harus dilihat dari aspek psikologis: bagaimana seseorang menilai, menafsirkan, dan memaknai lingkungannya berdasarkan pengalaman dan nilai hidup yang ia anut.

Sebagai calon psikolog, aku belajar bahwa memahami lingkungan berarti memahami manusia sebagai makhluk yang mampu menyesuaikan diri. Persepsi menjadi kunci untuk membentuk perilaku yang adaptif dan penuh empati terhadap perbedaan. Barangkali, yang tampak kumuh bagi mataku, justru adalah ruang kehidupan yang bermakna bagi orang lain.


Daftar Pustaka

Bell, A. P., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology (5th ed.). Harcourt College Publishers.

Patimah, A. S., Shinta, A., & Amin Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana UI.

 


0 komentar:

Posting Komentar