Selasa, 11 November 2025

UTS psikologi lingkungan

Nama: Chitra Amanda Kasim 

Nim: 24310410036

Mata kuliah : Psi Lingkungan Kelas A (UTS)

Dosen Pengampu: Dr. A. Shinta, M.A. 


Ketika melihat foto perumahan kumuh di Amerika Selatan itu, kesan pertama yang muncul pasti adalah rasa prihatin. Dindingnya lusuh, catnya mengelupas, dan lingkungan sekitar tampak tidak terurus. Namun, di balik kondisi yang tampak tidak layak itu, tetap ada orang yang memilih tinggal di sana. Pertanyaannya, mengapa mereka bersedia? Untuk menjawabnya, saya akan mencoba melihat dari sudut pandang skema persepsi menurut Paul A. Bell, yang menjelaskan bahwa cara seseorang memaknai lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengalaman, kebutuhan, dan nilai yang mereka miliki. 
Menurut Paul A. Bell, persepsi lingkungan tidak sekadar soal apa yang kita lihat, tapi juga bagaimana kita menilai dan memberi makna terhadap lingkungan tersebut. Bagi sebagian orang, perumahan kumuh mungkin identik dengan ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Namun, bagi penghuni yang tinggal di sana, tempat itu bisa saja berarti rumah, rasa kebersamaan, dan zona aman secara sosial. Mereka mungkin telah terbiasa dengan lingkungan itu sejak lama, mengenal tetangga-tetangganya, dan merasa diterima apa adanya. Persepsi mereka terhadap kenyamanan tidak diukur dari kebersihan atau keindahan fisik, melainkan dari rasa memiliki dan keterikatan sosial. Selain itu, faktor ekonomi tentu berperan besar. Dalam pandangan psikologi lingkungan, persepsi terhadap pilihan tempat tinggal sering kali terbentuk dari realitas sosial yang membatasi. Bagi sebagian orang yang berpenghasilan rendah, lingkungan kumuh bukanlah pilihan ideal, melainkan satu-satunya pilihan yang realistis. Persepsi mereka terhadap tempat itu kemudian menyesuaikan — yang semula hanya tempat sementara, lama-kelamaan menjadi tempat menetap karena mereka berhasil membangun kehidupan sosial di sana. Seperti yang dijelaskan Bell, persepsi seseorang bisa berubah mengikuti kebiasaan dan adaptasi terhadap situasi lingkungan.  Dan ada juga faktor nilai dan makna simbolik. Seseorang mungkin melihat rumah kumuh itu sebagai bentuk perjuangan hidup. Di balik tembok yang retak, ada kisah ketekunan untuk bertahan. Dalam pandangan psikologi lingkungan, makna emosional ini sering kali lebih kuat daripada kondisi fisik tempat tinggal itu sendiri. Jadi, meskipun tampak kumuh di mata orang luar, bagi mereka yang tinggal di dalamnya, tempat itu adalah simbol dari kehidupan yang mereka bangun dengan susah payah. Dari sisi sosial, lingkungan kumuh biasanya memiliki hubungan antarwarga yang erat. Mereka saling membantu, berbagi makanan, bahkan ikut menjaga anak-anak tetangga. Kedekatan sosial ini membentuk persepsi positif terhadap lingkungan meskipun secara fisik tidak ideal. Paul A. Bell menekankan bahwa persepsi individu dipengaruhi oleh interaksi antara faktor personal dan lingkungan di sini terlihat bahwa faktor sosial mampu menumbuhkan rasa nyaman yang menutupi kekurangan fisik tempat tinggal.
Maka dari itu  kita tidak bisa mengabaikan aspek adaptasi psikologis. Manusia punya kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi yang sulit. Ketika seseorang sudah lama tinggal di tempat tertentu, persepsi terhadap ketidaknyamanan fisik akan menurun karena tubuh dan pikiran sudah terbiasa. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa orang bisa tetap merasa tenang dan “biasa saja” meskipun lingkungan mereka tampak kumuh bagi orang lain.
Dengan itu , keberadaan penghuni di perumahan kumuh itu tidak selalu berarti mereka tidak peduli pada kebersihan atau kualitas hidup. Mereka hanya memiliki cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan berdasarkan pengalaman, kebutuhan, dan nilai yang mereka anut. Seperti yang dijelaskan oleh Paul A. Bell, persepsi bukan sekadar hasil penglihatan, tetapi hasil dari pemaknaan yang kompleks antara individu dan lingkungannya. Bagi mereka, tempat itu bukan sekadar bangunan tua yang usang, melainkan ruang hidup yang memiliki makna emosional, sosial, dan identitas.


Daftar Pustaka:
Bell, A. P., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology (5th ed.). Harcourt College Publishers.
Patimah, A. S., Shinta, A., & Amin Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29. https://ejournal.up45.ac.id/index.php/psikologi/article/view/1807

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.


0 komentar:

Posting Komentar