Nama :
Agnes Lingga F U
NIM : 23310420047
Kelas :
Psikologi Lingkungan SPSJ
Dosen
Pengampu : Dr.
Arundati Shinta, M.A
Tanggal
Terbit :
11 November 2025
Foto yang menampilkan kawasan perumahan
kumuh di Amerika Selatan memperlihatkan kondisi fisik yang tampak tidak layak
huni. Bangunan sempit, cat dinding pudar, dan jalan becek membuat banyak orang
langsung menilai tempat itu sebagai lingkungan yang tidak nyaman. Namun, di
balik tampilan yang tampak buruk tersebut, terdapat kehidupan sosial yang
dinamis dan masyarakat yang tetap bertahan di sana selama bertahun-tahun.
Berdasarkan teori persepsi lingkungan dari Bell et all (2001), keputusan
seseorang untuk menetap di suatu tempat bukan hanya ditentukan oleh kondisi
fisik tetapi juga oleh persepsi, kebutuhan psikologis, dan makna emosional
terhadap lingkungan tersebut.
Persepsi
Lingkungan dan Pembentukan Sikap
Menurut Bell et al. (2001), persepsi lingkungan melibatkan proses seleksi, organisasi, dan interpretasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Ada berbagai faktor seperti pengalaman hidup, nilai, kebutuhan, dan harapan yang akan membentuk bagaimana seseorang menilai suatu tempat. Dalam konteks ini, masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh tidak memandang rumah mereka sebagai tempat yang buruk melainkan ruang aman yang memberi perlindungan dan rasa memiliki. Berdasarkan teori ini dapat dipahami bahwa penilaian terhadap kenyamanan dan kualitas lingkungan bersifat sangat subjektif dan dipengaruhi oleh makna psikologis yang diberikan individu terhadap ruang hidupnya.
Persepsi
Lingkungan Menurut Paul A. Bell
Persepsi lingkungan terdiri atas tiga
tahap utama, yaitu seleksi, organisasi, dan interpretasi Bell et al. (2001),
- Tahap
Seleksi
Pada tahap ini individu memilih aspek lingkungan yang dianggap relevan dengan kebutuhannya. Penghuni kawasan kumuh menilai tempat tinggalnya dari segi fungsional, bukan estetika. Aspek seperti harga yang terjangkau, kedekatan dengan tempat kerja, dan keberadaan komunitas sosial menjadi hal yang lebih penting dibandingkan tampilan bangunan.
- Tahap
Organisasi
Dalam tahap ini, individu menyusun informasi dari lingkungan berdasarkan pengalaman hidupnya. Seseorang yang tumbuh di kawasan padat dan sederhana akan memandang kondisi seperti itu sebagai hal yang wajar. Pengalaman hidup membentuk cara berpikir dan menentukan bagaimana seseorang menilai lingkungannya.
- Tahap
Interpretasi
Tahap ini berkaitan dengan pemberian makna terhadap lingkungan. Banyak penghuni kawasan kumuh menilai tempat tinggal mereka sebagai simbol ketahanan dan kebersamaan. Hubungan sosial antarwarga yang saling membantu menciptakan rasa nyaman dan aman. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah place attachment, yaitu keterikatan emosional terhadap tempat tertentu meskipun kondisi fisiknya buruk
Aspek
Ekonomi dan Realitas Sosial
Secara ekonomi, banyak negara di Amerika
Selatan masih menghadapi ketimpangan sosial yang tajam. Berdasarkan data World
Bank (2023), sekitar 30% penduduk kawasan tersebut hidup di bawah garis
kemiskinan. Biaya sewa rumah di kota besar seperti Sao Paulo, Lima, Buenos
Aires jauh melebihi penghasilan rata-rata pekerja informal.
Banyak warga yang bekerja sebagai buruh, pedagang kecil, atau pekerja rumah
tangga, dengan pendapatan yang tidak tetap. Perumahan kumuh menjadi
satu-satunya pilihan realistis karena harganya terjangkau dan dekat dengan
pusat pekerjaan. Secara psikologis kondisi ekonomi seperti ini menciptakan sense
of adaptation, yaitu kemampuan untuk menerima keadaan yang tidak ideal
sebagai bentuk penyesuaian diri agar tetap bertahan hidup.
Aspek
Politik dan Kebijakan Publik
Dari sisi politik, banyak negara di
kawasan tersebut masih berjuang melawan korupsi dan ketimpangan kebijakan
perumahan. Program bantuan sosial sering kali tidak tepat sasaran, sementara
pembangunan kota lebih berfokus pada sektor industri dan pariwisata. Hal ini
memperkuat ketidakpastian sosial dan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah.
Secara psikologis, situasi politik yang tidak stabil menumbuhkan rasa
ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Karena itu masyarakat lebih memilih untuk
bertahan di lingkungan yang sudah mereka kenal dibandingkan harus menghadapi
risiko sosial dan ekonomi di tempat baru yang belum pasti.
Aspek
Keamanan, Kenyamanan, dan Faktor Psikologis
Secara objektif, kawasan kumuh sering
dikaitkan dengan risiko tinggi terhadap kriminalitas. Namun, lingkungan
tersebut memiliki bentuk keamanan sosial tersendiri bagi penduduknya. Mereka
mengenal satu sama lain, saling menjaga, dan membentuk sistem sosial informal
yang memberi rasa aman secara emosional. Rasa aman subjektif ini berhubungan
dengan konsep place attachment, yaitu ikatan emosional yang terbentuk antara
individu dengan lingkungannya walaupun lingkungannya sempit dan berisiko,
hubungan sosial yang erat menciptakan kenyamanan psikologis yang sulit
ditemukan di tempat lain.
Selain itu, masyarakat di kawasan kumuh sering kali memiliki ketahanan psikologis (resiliensi) yang kuat. Mereka belajar menyesuaikan diri dengan kondisi yang keras dan membangun makna positif dari kesederhanaan. Persepsi lingkungan tidak hanya terbentuk dari penglihatan fisik, tetapi juga dari pengalaman emosional yang berulang, seperti solidaritas antarwarga atau rasa diterima dalam komunitas.
Aspek
Pendidikan dan Kesempatan Sosial
Keterbatasan akses pendidikan juga menjadi
penyebab masyarakat sulit keluar dari lingkungan kumuh. Laporan UNESCO (2022)
menunjukkan bahwa banyak anak di kawasan miskin Amerika Selatan harus berhenti
sekolah karena masalah ekonomi atau jarak ke sekolah yang jauh. Rendahnya
tingkat pendidikan memengaruhi persepsi mereka terhadap kualitas hidup banyak
yang menganggap bahwa kondisi tempat tinggal mereka adalah hal yang wajar.
Dari sisi psikologis, rendahnya pendidikan dapat menurunkan aspirasi untuk
perubahan karena individu telah beradaptasi dengan lingkungan yang dianggap
“cukup”. Situasi ini menimbulkan learned helplessness, yaitu perasaan
tidak berdaya terhadap perubahan sosial yang dianggap di luar kendali individu.
Kesimpulan
Secara keseluruhan alasan seseorang tetap
tinggal di lingkungan kumuh bukan semata-mata karena kemiskinan atau
keterpaksaan tetapi karena faktor psikologis seperti rasa aman, keterikatan
sosial, dan kemampuan beradaptasi terhadap situasi sulit didalamnya.
Berdasarkan teori persepsi lingkungan Bell (2001) dapat dipahami bahwa persepsi
manusia terhadap ruang hidup terbentuk melalui pengalaman subjektif yang
kompleks bukan hanya dari penilaian objektif terhadap kebersihan atau
keindahan. Dengan demikian, keputusan untuk bertahan di kawasan kumuh tidak
bisa hanya dilihat dari sisi kemiskinan. Banyak di antara mereka merasa lebih
aman dan diterima di lingkungan yang sudah akrab. Apa yang bagi orang luar
tampak sebagai keterpaksaan, bagi mereka justru menjadi bentuk adaptasi
psikologis dan sosial terhadap hidup yang keras.
Referensi
Bell,
P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental
psychology (5th ed.). Harcourt College Publishers.
UNESCO
Institute for Statistics. (2022). Education in Latin America and the
Caribbean: Challenges and opportunities. UNESCO.
https://www.unicef.org/lac/media/37791/file/Education%20in%20Latin%20America%20and%20the%20Caribbean%20at%20a%20crossroads.pdf
World
Bank. (2023). Regional poverty and inequality update: Latin America and the
Caribbean. World Bank Group.
https://documents1.worldbank.org/curated/en/099101624155030674/pdf/P5060951be4bad0341bb0f12622f0781694.pdf
World
Bank. (2023). Origins of Latin American inequality. World Bank Group.
https://thedocs.worldbank.org/en/doc/6af04888efedf21dcd63d721444f9a85-0370012023/original/Paper-Origins-of-Latin-America-Inequality.pdf
Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD). (2022). Latin American
economic outlook 2022: Towards a green and just transition. OECD
Publishing.
Economic
Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC). (2022). Social
panorama of Latin America and the Caribbean 2022. United Nations
Publications.
https://oig.cepal.org/sites/default/files/c2300030_web.pdf






0 komentar:
Posting Komentar