ESAI 4-KOMITMEN TENTANG SAMPAH
DOSEN PENGAMPU : Dr. ARUNDATI SHINTA, M.APSIKOLOGI LINGKUNGAN KELAS SPSJ
CHRISTIINA ANGELINE NATALIA M24310420060FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Sebagai mahasiswa psikologi, ketika kita berbicara tentang
isu lingkungan atau krisis iklim, yang terbayang adalah masalah global yang
masif dan menakutkan. Rasanya, sebagai individu, kita terlalu kecil untuk
membuat perbedaan. Dulu, saya pun berpikir demikian. Saya merasa bahwa upaya
saya tidak akan ada artinya. Namun, saya menyadari satu hal ketika saya berada
di kelas psikologi lingkungan yaitu perubahan besar selalu berawal dari
kumpulan aksi-aksi kecil yang dilakukan secara konsisten.
Bagi saya, menjadi "pro-lingkungan" bukanlah
tentang melakukan protes besar di jalan atau mengubah seluruh hidup secara
drastis dalam semalam. Ini adalah tentang pilihan-pilihan sederhana yang saya
buat setiap hari, dimulai dari saat saya bangun tidur.
Perubahan pertama yang saya lakukan adalah
"berperang" melawan plastik sekali pakai. Ini dimulai dengan disiplin
yang saya paksakan pada diri sendiri. Saya membiasakan diri untuk tidak pernah
meninggalkan rumah tanpa membawa "amunisi" wajib: tas belanja lipat
di dalam tas, botol minum (tumbler) yang sudah terisi.
Awalnya, tentu saja merepotkan. Ada kalanya tumbler
tertinggal atau saya lupa membawa tas belanja saat mampir ke warung. Namun,
seiring waktu, ini menjadi kebiasaan. Rasa "bersalah" ketika terpaksa
menerima kantong plastik kini menjadi pengingat terkuat saya. Melihat betapa
drastisnya sampah di tempat sampah saya berkurang, saya tahu ini adalah langkah
yang tepat.
Di dalam rumah, kesadaran itu berlanjut. Saya menjadi lebih
"cerewet" pada diri sendiri mengenai penggunaan energi dan air.
Apakah lampu di kamar mandi masih menyala padahal tidak ada orang? Apakah charger
ponsel masih tercolok meski baterainya sudah penuh? Apakah keran air terus
mengalir saat saya menyikat gigi?
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan sepele yang kini rutin saya
tanyakan. Saya mematikan saklar, mencabut colokan yang tidak terpakai, dan
berusaha mandi lebih singkat. Ini bukan hanya soal menghemat tagihan bulanan;
ini soal menghargai sumber daya bumi yang terbatas.
Saya juga belajar menjadi konsumen yang lebih bijak. Saya
mulai memilah sampah—setidaknya memisahkan yang organik dan anorganik—untuk
memudahkan proses daur ulang di hilir. Saya berusaha menghabiskan makanan dan
tidak menyisakan apa pun di piring, sadar bahwa sisa makanan adalah salah satu
kontributor sampah terbesar.
Mungkin tindakan-tindakan saya ini terlihat sangat kecil.
Membawa tumbler atau mematikan lampu tidak akan langsung menghentikan
pemanasan global. Tapi saya yakin, ini bukan kesia-siaan. Ini adalah bentuk
tanggung jawab dan komitmen saya sebagai penghuni bumi.
Ketika satu aksi kecil saya digabungkan dengan jutaan aksi
kecil orang lain, dampaknya akan menjadi masif. Bagi saya, gaya hidup
pro-lingkungan bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang kemajuan. Ini
adalah tentang memulai dari diri sendiri, di sini, dan saat ini.
LINK YOUTUBE
https://youtube.com/shorts/mBqzTJgSHlM?feature=share
Sebagai mahasiswa psikologi, ketika kita berbicara tentang
isu lingkungan atau krisis iklim, yang terbayang adalah masalah global yang
masif dan menakutkan. Rasanya, sebagai individu, kita terlalu kecil untuk
membuat perbedaan. Dulu, saya pun berpikir demikian. Saya merasa bahwa upaya
saya tidak akan ada artinya. Namun, saya menyadari satu hal ketika saya berada
di kelas psikologi lingkungan yaitu perubahan besar selalu berawal dari
kumpulan aksi-aksi kecil yang dilakukan secara konsisten.
Bagi saya, menjadi "pro-lingkungan" bukanlah
tentang melakukan protes besar di jalan atau mengubah seluruh hidup secara
drastis dalam semalam. Ini adalah tentang pilihan-pilihan sederhana yang saya
buat setiap hari, dimulai dari saat saya bangun tidur.
Perubahan pertama yang saya lakukan adalah
"berperang" melawan plastik sekali pakai. Ini dimulai dengan disiplin
yang saya paksakan pada diri sendiri. Saya membiasakan diri untuk tidak pernah
meninggalkan rumah tanpa membawa "amunisi" wajib: tas belanja lipat
di dalam tas, botol minum (tumbler) yang sudah terisi.
Awalnya, tentu saja merepotkan. Ada kalanya tumbler
tertinggal atau saya lupa membawa tas belanja saat mampir ke warung. Namun,
seiring waktu, ini menjadi kebiasaan. Rasa "bersalah" ketika terpaksa
menerima kantong plastik kini menjadi pengingat terkuat saya. Melihat betapa
drastisnya sampah di tempat sampah saya berkurang, saya tahu ini adalah langkah
yang tepat.
Di dalam rumah, kesadaran itu berlanjut. Saya menjadi lebih
"cerewet" pada diri sendiri mengenai penggunaan energi dan air.
Apakah lampu di kamar mandi masih menyala padahal tidak ada orang? Apakah charger
ponsel masih tercolok meski baterainya sudah penuh? Apakah keran air terus
mengalir saat saya menyikat gigi?
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan sepele yang kini rutin saya
tanyakan. Saya mematikan saklar, mencabut colokan yang tidak terpakai, dan
berusaha mandi lebih singkat. Ini bukan hanya soal menghemat tagihan bulanan;
ini soal menghargai sumber daya bumi yang terbatas.
Saya juga belajar menjadi konsumen yang lebih bijak. Saya
mulai memilah sampah—setidaknya memisahkan yang organik dan anorganik—untuk
memudahkan proses daur ulang di hilir. Saya berusaha menghabiskan makanan dan
tidak menyisakan apa pun di piring, sadar bahwa sisa makanan adalah salah satu
kontributor sampah terbesar.
Mungkin tindakan-tindakan saya ini terlihat sangat kecil.
Membawa tumbler atau mematikan lampu tidak akan langsung menghentikan
pemanasan global. Tapi saya yakin, ini bukan kesia-siaan. Ini adalah bentuk
tanggung jawab dan komitmen saya sebagai penghuni bumi.
Ketika satu aksi kecil saya digabungkan dengan jutaan aksi
kecil orang lain, dampaknya akan menjadi masif. Bagi saya, gaya hidup
pro-lingkungan bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang kemajuan. Ini
adalah tentang memulai dari diri sendiri, di sini, dan saat ini.
LINK YOUTUBE
https://youtube.com/shorts/mBqzTJgSHlM?feature=share







0 komentar:
Posting Komentar