Selasa, 11 November 2025

UTS PSI LINGKUNGAN WASKITA ILHAM PRABOWO

https://docs.google.com/document/d/1BALj8D2LJrn0_IQckXX4YgLnubmVmL_VVEaOHWVWopg/edit NAMA : WASKITA ILHAM PRABOWO NIM : 24310410032 JURUSAN : PSIKOLOGI KELAS : KARYAWAN JAWABAN Pokok Permasalahan dari kasus yang ada di foto tersebut yaitu,Dalam konteks psikologi lingkungan, foto perumahan di Amerika Selatan yang digambarkan sebagai kumuh menimbulkan pertanyaan penting: mengapa masih ada orang yang bersedia tinggal di lingkungan tersebut? Mahasiswa dalam perkuliahan sepakat bahwa mereka tidak akan memilih tinggal di sana kecuali terpaksa, bahkan jika harus tinggal, mereka berencana memperbaiki kondisi fisik rumah. Namun, kenyataannya terdapat penghuni yang tetap bertahan. Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell dan kawan-kawan (Bell et al., 2001; Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995). Persepsi menjadi kunci karena ia membentuk dasar keputusan individu dan akhirnya memengaruhi perilaku. Analisis dengan Skema Persepsi Bell Menurut Bell, persepsi lingkungan terbentuk melalui proses stimulus, organisasi, dan interpretasi. Ketiga tahap ini menjelaskan bagaimana individu memaknai lingkungannya, sehingga meskipun bagi sebagian orang perumahan itu tampak tidak layak, bagi penghuni tetap ada alasan untuk bertahan. Stimulus Lingkungan Stimulus yang diterima mahasiswa adalah kondisi fisik perumahan yang terlihat kumuh. Cat mengelupas, bangunan tidak terawat, dan lingkungan padat. Namun, bagi penghuni, stimulus yang dominan mungkin berbeda. Mereka lebih menekankan pada aspek aksesibilitas (dekat dengan tempat kerja, pasar, atau transportasi), biaya rendah, serta kedekatan sosial dengan komunitas. Stimulus yang dianggap negatif oleh mahasiswa bisa ditafsirkan sebagai hal yang netral atau bahkan positif oleh penghuni. Organisasi Persepsi Mahasiswa mengorganisasi informasi dengan menekankan aspek estetika dan kenyamanan fisik. Hal ini membuat mereka menilai lingkungan tersebut tidak layak huni. Sebaliknya, penghuni mengorganisasi informasi berdasarkan prioritas kebutuhan hidup. Faktor ekonomi, keterjangkauan harga sewa, dan jaringan sosial lebih diutamakan dibandingkan penampilan fisik. Organisasi persepsi ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kerangka acuan berbeda sesuai latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi. Interpretasi mahasiswa yautu perumahan yang kumuh sama dengan tidak layak huni, menimbulkan rasa tidak nyaman, bahkan memalukan. Interpretasi penghuni: perumahan kumuh sama dengan tempat tinggal yang masih memenuhi fungsi dasar (tempat berlindung, ruang keluarga, dan komunitas). Interpretasi ini dipengaruhi oleh pengalaman, nilai, dan harapan. Bagi mereka yang terbiasa hidup dalam keterbatasan, kondisi tersebut tidak selalu dianggap buruk, melainkan bagian dari realitas yang harus dijalani. Faktor Sosial dan Psikologis Selain skema persepsi, ada faktor sosial-psikologis yang memperkuat keputusan penghuni untuk tinggal: Ikatan Komunitas: Lingkungan kumuh sering kali memiliki solidaritas tinggi. Kehidupan bertetangga yang saling membantu menciptakan rasa aman sosial. Keterjangkauan Ekonomi: Biaya hidup yang rendah menjadi alasan utama bertahan. Bagi keluarga berpenghasilan minim, pilihan lain mungkin tidak tersedia. Adaptasi Psikologis: Individu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Ketidaknyamanan fisik bisa ditoleransi jika kebutuhan sosial dan ekonomi terpenuhi. Harapan Perbaikan: Beberapa penghuni mungkin melihat peluang untuk memperbaiki rumah sedikit demi sedikit, sehingga tetap ada motivasi untuk bertahan. Permasalahan Utama yang muncul adalah adanya perbedaan persepsi antara mahasiswa (pengamat eksternal) dan penghuni (pelaku internal). Mahasiswa menilai berdasarkan standar estetika dan kenyamanan, sedangkan penghuni menilai berdasarkan kebutuhan dasar dan realitas hidup. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi objektif, tetapi juga oleh latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman individu. Dengan demikian, alasan orang bersedia tinggal di perumahan kumuh bukan semata karena tidak ada pilihan lain, tetapi karena persepsi mereka terhadap lingkungan tersebut berbeda. Persepsi ini membentuk keputusan untuk bertahan, yang akhirnya menjadi perilaku nyata. Kesimpulan Menggunakan skema persepsi Bell, kita dapat memahami bahwa stimulus, organisasi, dan interpretasi lingkungan berbeda antara mahasiswa dan penghuni. Mahasiswa melihat kumuh sebagai masalah, sementara penghuni melihatnya sebagai solusi praktis atas keterbatasan ekonomi dan sosial. Persepsi inilah yang menjadi dasar keputusan untuk tinggal, meskipun kondisi fisik tidak ideal. Dengan memahami perbedaan persepsi, kita dapat lebih bijak menilai fenomena perumahan kumuh dan menyadari bahwa perilaku manusia selalu berakar pada cara mereka memaknai lingkungannya. Daftar Pustaka Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology. Fort Worth: Harcourt College Publishers. Patimah, S., dkk. (2024). Psikologi Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta. Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jaka

0 komentar:

Posting Komentar