WAWANCARA PEKERJAAN DAN TES PSIKOLOGI:
PROBLEM DAN SOLUSINYA
Arundati Shinta
Menghadiri suatu wawancara pekerjaan dan tes psikologi
ibaratnya melangkah ke tiang gantungan. Itu adalah fenomena yang sering
menghinggapi para fresh graduate yang
sudah merasa sudah kalah sebelum berperang. Mengapa demikian? Satu fakta yang
harus dihadapi para pencari pekerjaan itu adalah bersaing dengan mantan
karyawan yang terkena PHK atau program pensiun dini. Para mantan itu tentu saja
lebih berpengalaman dalam segala macam seleksi pekerjaan dan juga ‘jam
terbangnya’ sudah tinggi. Jadi para fresh
graduate itu harus bagaimana?
Satu hal yang perlu diingat bahwa tidak semua organisasi itu
memihak pada para mantan karyawan, ketika organisasi itu mengadakan recruitment. Mungkin saja organisasi itu
justru lebih suka pada calon karyawan yang baru saja lulus dari
sekolah/perguruan tinggi. Mereka ini dianggap lebih ‘bisa diatur’ agar sesuai
dengan iklim organisasi. Ini tentu saja menyenangkan bagi organisasi. Meskipun
demikian, tidak sembarang fresh graduate
dapat langsung menjadi karyawan. Mereka harus melewati serangkaian ujian,
antara lain wawancara pekerjaan dan tes psikologi. Jadi apa yang harus
dipersiapkan para pemburu pekerjaan itu dalam menghadapi peristiwa yang mendebarkan
itu?
PERLUKAH TES PSIKOLOGI DALAM SELEKSI KARYAWAN?
Perlu tidaknya pengadaan tes psikologi dalam seleksi pegawai
memang masih menjadi perdebatan yang berkepanjangan. Memang diakui bahwa
keberadaan tes psikologi akan mempercepat proses pemilihan pegawai yang tepat (the right man on the right job). Sebab
tes psikologi itu ternyata lebih cepat dalam mendeteksi orang yang tidak siap
menerima tugas organisasi. Ini tercermin dari hasil tes yang ada di bawah
ukuran standar. Jadi mungkin saja terjadi suatu seleksi pegawai memakai
prosedur yang panjang, mulai dari wawancara singkat lewat telepon, tes
administrasi, tes akademik, tes psikologi I, tes psikologi II, dst, wawancara
I, wawancara II dst, diskusi kelompok, sampai pada masa percobaan.
Bahkan
bisa saja terjadi suatu seleksi pegawai tanpa melalui tes apa pun juga. Ini
semua tergantung pada tingkat kepentingan posisi pekerjaan yang ditawarkan,
keahlian dan kepemilikan lisensi dari orang yang menangani tes, ada atau
tidaknya alat tes, jumlah pelamar, waktu dan biaya yang disediakan oleh
organisasi untuk pengangkatan pegawai baru ini.
Bila
organisasi sudah memutuskan bahwa tes psikologi merupakan salah satu materi
seleksi pagawai, maka pihak manajer personalia biasanya sudah mengantisiapasi
akan timbulnya persepsi yang buruk tentang tes psikologi. Persepsi buruk ini
bisa berasal dari para pelamar ataupun dari pihak pimpinan organisasi. Persepsi
buruk itu misalnya (Yoder, 1979):
*) Interpretasi tes psikologi itu
misterius dan dapat disalahgunakan
*) Tes psikologi itu hanya
menguntungkan individu dengan latar belakang kebudayaan tertentu saja (culture-bound)
*) Tes psikologi itu terlalu
mencampuri urusan pribadi
*) Hasil-hasil tes psikologi itu
tidak relevan dengan analisa jabatan dari pekerjaan tersebut.
Untuk
mengatasi kritik-kritik terhadap tes psikologi itu, bagian personalia biasanya
sudah terlebih dahulu mendemonstrasikan tentang relevansi tes psikologi dengan
persyaratan-persyaratan pekerjaan dihadapan pimpinan organisasi dan manajer
yang lainnya. Selain itu bagian personalia juga akan memberikan jaminan bahwa
tes psikologi hanya akan disajikan dengan cara-cara yang sudah baku, diberikan
serta diinterpretasi oleh orang yang benar-benar ahli dan mempunyai lisensi
untuk mengadakan penyelidikan tes psikologi.
Untuk
menghindari penyalahgunaan data, semua informasi tentang pelamar akan dijaga
kerahasiaannya secara profesional. Para pelamar tidak akan dirugikan pada masa
yang akan datang. Kemudian untuk menghindari pengaruh kebudayaan, bagian
personalia juga tidak akan gegabah menyusun suatu baterei tes yang belum diukur
tingkat validitas dan reliabilitasnya untuk penduduk Indonesia. Suatu alat tes
sudah dianggap baik untuk suatu negara, tidak akan dengan sendirinya bisa
diterapkan untuk penduduk Indonesia. Materi tes harus disesuaikan terlebih
dahulu dengan kondisi penduduk Indonesia.
Diantara
banyaknya persoalan tentang keberadaan tes psikologi, terutama tes
bakat dan tes kemampuan, mungkin kita juga perlu mengingat gugatan dari Daniel
Goleman dalam bukunya yang sangat laris yaitu Emotional Intelligence, Why It Can Matter More Than IQ. Goleman
menggugat apakah IQ menentukan nasib? Apakah IQ tinggi adalah jaminan bagi
seseorang untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi, gaji besar, hidup sukses?
Ternyata hal yang paling menentukan kesuksesan seseorang adalah kepiawaiannya
dalam menangani emosinya. Artinya, ia bisa marah pda orang yang tepat, memilih
situasi yang tepat, dan dengan cara yang tepat pula. Jadi orang yang dapat
mengontrol emosinya berarti ia mempunyai ketrampilan sosial yang tinggi pula.
Kualitas-kualitas individu semacam inilah yang justru banyak dicari oleh
pemilik organisasi untuk dijadikan karyawannya yang tangguh.
Sekali
lagi perlu ditekankan bahwa tes psikologi itu bukan segala-galanya. Sebab,
banyak juga aspek kejiwaan seseorang yang tidak bisa diungkap dengan tes
psikologi. Aspek kejiwaan itu justru bisa tampak dalam wawancara, dan masa-masa
percobaan (masa menjadi calon pegawai). Oleh karena itu, pelamar tidak perlu
gentar dalam menghadapi tes psikologi.
KIAT MENGHADAPI
TES PSIKOLOGI
Bagi
para pencari pekerjaan yang telah berkali-kali gagal dalam tes psikologi dan
yang belum pernah mengalami tes psikologi tentu akan merasa kebingungan ketika
menjalani tes psikologi. Mereka selalu merasa penasaran dan mencari kiat-kiat
praktis agar bisa mengerjakan tes psikologi dengan ‘baik’. Istilah ‘baik’ ini
ternyata mempunyai makna yang berbeda antara pihak pencari pekerjaan dan
penyelenggara tes. Para pelamar mempersepsikan bahwa hasil tes psikologi yang
baik yaitu tingginya nilai yang diperoleh, bahkan kalau bisa melebihi nilai
standar dan saingan-saingan lainnya.
Di lain
pihak, penyelenggara tes mempunyai persepsi bahwa hasil tes yang baik yaitu
hasil yang dapat mencerminkan bakat, kemampuan, kepribadian, dan minat individu
yang optimum. Jadi hasil yang optimum bagi seorang pelamar, tentu berbeda
dengan pelamar yang lain, dan mungkin berbeda (lebih rendah/tinggi) dengan
ukuran penyelenggara tes. Karena perbedaan-perbedaan persepsi inilah ditambah dengan
‘kemisteriusan’ tes psikologi, maka banyak orang berlomba-lomba belajar tes
psikologi dengan berbagai cara. Sebenarnya, apakah ada saran-saran praktis
untuk menghadapi tes psikologi?
Agar
mendapatkan hasil tes psikologi yang optimum, maka Suryobroto (1990:85-86)
memberikan saran jitu. Saran itu ialah individu harus memiliki sifat-sifat
tertentu yang sesuai dengan dasar pikiran dalam penyusunan alat tes psikologi
itu. Apa saja sifat-sifat itu?
·
Pertama, individu harus menurut
saja tanpa memberi kritik-kritik terhadap petunjuk yang ada dalam tes
psikologi. Bila ia mempunyai pendapat yang berbeda tentang cara penyelesaian
suatu soal dala tes dan hal itu ternyata tidaks esuai dengan prosedur tes, maka
ia akan mendapatkan nilai yang rendah. Ini tentu saja sangat merugikan
individu. Oleh karena itu, ketika ujian berlangsung para pelamar harus
benar-benar menyimak petunjuk tes, kalau perlu bertanya kepada pengawas. Sebab
bila tes telah berlangsung segala pertanyaan dan protes yang muncul tidak akan
ditanggapi.
·
Kedua, individu harus mempunyai
dorongan bersaing yang besar. Artinya ia harus bersungguh-sungguh dan
bersemangat dalam mengerjakan tes secara mandiri dan tidak boleh
bergotong-royong dengan pelamar yang lain. Meskipun prinsip gotong-royong itu
baik, tetapi dalam pengerjaan tes psikologi prinsip itu membuat individu berada
pada posisi yang tidak menguntungkan. Bila ada individu yang sebenarnya cukup
cerdas tetapi dorongan bersaingnya kecil maka ia akan gagal dalam tes psikologi
ini.
Saran
praktis yang lain yaitu individu harus tampil dalam keadaan fisik dan psikhis
yang prima. Tidak ada gunanya belajar tes psikologi dengan cara melembur
semalaman, dengan harapan bisa sukses dalam tes psikologi. Kondisi fisik yang
tidak menguntungkan ini justru akan membuyarkan konsentrasi para pelamar dalam
mengerjakan tes. Dan yang juga penting jangan lupa makan pagi, kalau perlu
membawa bekal makanan. Ini karena tes psikologi kadang kala dilaksanakan mulai
dari pagi sampai sore dan belum tentu pihak organisasi menyediakan makanan.
Hal
lain yang tidak kalah penting yaitu para pelamar tidak perlu mencari bimbingan
tes untuk berlatih mengerjakan tes psikologi ini pada mahasiswa atau sarjana
psikologi. Sebab mereka memang tidak diijinkan untuk membocorkan tes psikologi.
Itu memang bagian dari kode etik psikologi yang harus dipegang teguh. Selain
itu, soal-soal dalam tes psikologi milik mahasiswa psikologi belum tentu sama
dengan soal-soal yang diujikan oleh organisasi. Alasan lain adalah soal-soal
dalam tes psikologi itu ternyata mudah, bisa diselesaikan dengan nalar dan
logika. Tes tersebut bukan seperti soal pada ujian matematika yang sangat
terkenal kecanggihannya. Jadi individu tidak perlu memaksa diri dan berburu tes
psikologi.
Percaya
diri merupakan bekal yang juga penting dalam menghadapi tes psikologi. Orang
yang tidak percaya diri tentu akan mengok kiri-kanan ketika mengerjakan tes
psikologi. Menurut perspsinya, garapan milik orang lain lebih benar, lebih baik
daripada milik sendiri. Padahal itu tidak benar. Belum tentu pelamar lain tahu
akan jawaban yang tepat.
Satu
kelebihan dari para mahasiswa/sarjana psikologi dalam mengikuti tes psikologi
adalah mereka lebih percaya diri. Ini karena mereka sudah terbiasa dengan
persoalan-persoalan semacam itu (meskipun mereka tidak hapal dengan kunci
jawabannya). Mereka sudah mengetahui petunjuk-petunjuk pengerjaan tes tanpa
harus menunggu instruksi dari penyelenggara tes. Jadi, mereka sudah terlatih
untuk waspada terhadap pengaturan waktu. Kondisi semacam itu sangat berbeda untuk
pelamar yang baru pertama kali menjalani tes psikologi. Pelamar menjadi grogi,
hilang konsentrasi, dan ia cenderung tidak mampu memberikan hasil yang optimum.
BAGAIMANA DENGAN
TES WAWANCARA PEKERJAAN?
Seperti
telah dikemukakan di atas, bahwa kematangan emosi jauh lebih tampak ketika
pelamar menghadapi wawancara pekerjaan daripada tes psikologi. Kematangan emosi
memang tidak dapat diperoleh dalam jangka waktu satu atau dua hari. Itu memang
membutuhkan proses yang bertahun-tahun dan itu pun diperoleh dengan usaha yang
tidak kenal putus asa. Ibaratnya seseorang harus berkorban ‘darah dan air mata’
dahulu baru ia dapat matang emosinya.
Meskipun
demikian, para pelamar yang merasa belum matang emosinya tidak perlu gentar
dalam menghadapi tes wawancara. Mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum tes,
adalah langkah awal yang patut dipuji. Salah satu persiapan itu ialah memahami
jenis-jenis pertanyaan yang sering muncul dalam wawancara pekerjaan. Contohnya
antara lain:
*) Dari mana Anda tahu organisasi
ini?
*) Apakah Anda adalah orang yang
tepat untuk posisi yang ditawarkan ini?
*) Apa rencana pekerjaan Anda bila
sudah diterima di organisasi ini?
*) Berapa gaji yang diminta?
*) Untuk apa saja uang sebanyak
itu?
*) Punya pengalaman pekerjaan?
*) Kalau dulu sudah punya
pekerjaan, mengapa keluar?
*) Punya pengalaman berorganisasi?
*) Kapan Anda lulus
sekolah/perguruan tinggi?
*) Kalau lulusnya sudah lama,
berarti Anda punya waktu luang yang banyak. Lalu
apa saja yang Anda lakukan
untuk mengisi waktu?
*) Apa hobi Anda?
*) Anda bersedia ditempatkan di
kantor cabang kami di luar pulau Jawa?
*) Kapan menikahnya?
*) Apa yang Anda lakukan ketika
menghadapi bawahan yang lebih tua, lebih
berpengalaman, namun tidak mau bekerja
sama?
*) Apa yang Anda lakukan ketika
menghadapi atasan yang lebih muda, tidak
berpengalaman, namun sok tahu?
*) Apa yang Anda lakukan untuk
menyusun team work yang baik?
Daftar
pertanyaan ini bisa lebih panjang lagi, tergantung banyak hal antara lain
pentingnya posisi yang ditawarkan, minat organisasi terhadap pelamar, jumlah
pelamar, jumlah pewawancara, pengalaman pewawancara, dan waktu yang disediakan
untuk wawancara. Para pelamar hendaknya belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu. Kalau perlu, berlatih pada orang yang benar-benar mengetahui prosedur
wawancara pekerjaan. Berlatih menjawab pertanyaan ini tidak berarti berlatih
berbohong. Ini karena pewawancara akan segera mengetahui kebohongan pelamar
dari jawaban-jawaban yang diberikan.
Oleh
karena itu para pelamar perlu mengetahui makna dibalik pertanyaan-pertanyaan
itu. Contohnya pada pertanyaan: “Apakah Anda mempunyai pengalaman pekerjaan?”.
Para fresh graduate tentu akan gentar
menghadapi pertanyaan ini karena merasa belum pernah bekerja. Dari daftar
riwayat hidup yang dikirimkan pelamar, sebenarnya pewawancara sudah tahu bahwa
pelamar itu tidak mempunyai pengalaman pekerjaan formal. Namun ia ingin
mengetahui apakah pelamar pernah bekerja secara informal. Pekerjaan informal
itu misalnya membantu orangtua menjaga warung, menjual dagangan dari rumah ke
rumah, menerima terjemahan teman-teman, memberi les menari, dan sebagainya.
Pekerjaan itu pernah dilakukan, tetapi pelamar tidak dapat memberikan bukti
formal seperti surat keterangan dan sebagainya.
Kalau
memang pelamar mempunyai pengalaman informal semacam itu, maka ia hendaknya
secara rinci menggambarkan pekerjaan itu. Apalagi kalau pekerjaan itu
berhubungan dengan hobi serta menunjang posisi yang akan dilamar. Pelamar
semacam itulah yang dicari. Alasannya, pelamar semacam itu mampu menunjukkan
kreatifitas pekerjaan, bertanggung jawab, mempunyai mental wirausahawan,
mandiri, kemampuan mengelola keuangan, pandai berteman, mampu memimpin dirinya
sendiri. Jadi yang dipentingkan di sini adalah aktifitas pelamar dalam mengisi
waktu luangnya, bukan jumlah rupiah yang dihasilkan dari pekerjaan informal
tersebut.
Kemudian
pertanyaan tentang: “Berapa gaji yang Anda minta?”. Pelamar mungkin berpikir
berapa saja yang diberi organisasi, akan diterimanya. Pikiran semacam itu
sangat tidak disukai oleh pewawancara. Karena hal ini menunjukkan pelamar itu
sempit wawasannya. Pelamar yang seperti itu biasanya telah terbiasa meminta
uang dan segala kebutuhannya pada orangtuanya. Jawaban itu juga menunjukkan
pelamar kurang pergaulannya. Orang yang pergaulannya luas, biasanya juga
mempunyai jaringan informasi yang luas dan kuat, termasuk informasi tentang
gaji.
Lalu
bagaimana kalau ia memang benar-benar tidak tahu berapa gaji yang diminta?
Mungkin sebaiknya jujur saja bahwa ia tidak tahu jawabannya. Dalam menghadapi
situasi yang menegangkan ini, seorang pewawancara yang baik tentu akan
menunjukkan batas atas dan bawah gaji yang akan diterima serta fasilitas
lainnya. Ini juga sebagai bahan pertimbangan bagi pelamar untuk menerima atau
menolak pekerjaan itu, berkenaan dengan kemampuan organisasi dalam memberikan gaji.
PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini, ingin
sekali saya menekankan bahwa tes psikologi dalam seleksi pekerjaan bukanlah
segala-galanya. Lulus tes psikologi bukan jaminan untuk sukses dalam bekerja.
Begitu juga sebaliknya, orang yang tidak lulus tes psikologi belum tentu
hidupnya gagal. Oleh karena itu sangat disarankan para pelamar tidak perlu
gentar dalam menghadapi tes psikologi.
Kemudian
untuk menghadapi tes wawancara pekerjaan, sangat disarankan pelamar mampu
membawa diri, mempromosikan diri, dan menampilkan citra diri yang positif. Bila
pelamar gagal dalam tes psikologi dan tes wawancara ini berarti kemampuan
pelamar tidak sesuai dengan persyaratan posisi yang ditawarkan, atau ada
pelamar lain yang lebih sesuai dengan lowongan itu. Berulangkali gagal dalam
seleksi pekerjaan hendaknya membuat pelamar mawas diri. Mungkin saja potensi
diri yang selama ini terpendam belum teraktualisasikan dengan optimum. Untuk
menggambarkan hal itu, saya sangat setuju dengan ungkapan yang mengatakan:
“Gagal itu biasa. Bangkit dan mencoba lagi itu baru luar biasa”.