NAMA : FITRI RAHMAYASARI
NIM : 24310410056
MATA KULIAH : PSIKOLOGI LINGKUNGAN
DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA M.A.
*Mengapa orang bersedia tinggal di perumahan kumuh?*
Penjelasan berikut memakai _skema persepsi_ yang dikembangkan oleh *Paul A. Bell* bersama rekan‑rekannya (Bell, Miller & Morrison, 1978; Bell, Greene & Fisher, 2001). Skema ini menyatakan bahwa keputusan seseorang untuk memilih (atau menerima) suatu lingkungan dipengaruhi oleh enam dimensi persepsi utama. Setiap dimensi dihubungkan dengan kondisi yang sering ditemui di permukiman kumuh di Indonesia.
1. *Persepsi Risiko*
- _Normalisasi bahaya_: Penghuni kumuh biasanya menilai risiko kesehatan, keamanan, atau bencana sebagai “cukup dapat diterima” karena mereka sudah terbiasa dengan kondisi tersebut.
- _Pengalaman pribadi_: Setelah bertahun‑tahun tinggal di sana, bahaya yang tampak mengancam bagi orang luar menjadi bagian rutin, sehingga persepsi risiko menurun.
2. *Persepsi Kontrol*
- _Kemandirian dalam perbaikan_: Banyak penghuni merasa memiliki kontrol atas ruang hidup mereka—misalnya dengan memperbaiki atap, menambah kamar, atau mengorganisir gotong‑royong.
- _Keterbatasan pilihan_: Jika perumahan yang lebih baik tidak terjangkau atau tidak tersedia, rasa kontrol yang terbatas membuat mereka “menerima” kondisi yang ada.
3. *Persepsi Manfaat*
- _Keuntungan sosial_: Kedekatan dengan tetangga, jaringan dukungan mutual, dan rasa komunitas yang kuat sering dianggap sebagai manfaat utama.
- _Akses ekonomi_: Lokasi yang dekat dengan pusat pekerjaan informal (pasar, bengkel, transportasi) mengurangi biaya transportasi dan meningkatkan peluang pendapatan.
4. *Persepsi Kesesuaian (Fit) atau Kecocokan Lingkungan*
- _Identitas tempat_: Beberapa orang mengembangkan ikatan emosional (place attachment) dengan lingkungan kumuh karena di sanalah mereka dibesarkan atau memiliki kenangan penting.
- _Kesesuaian budaya_: Praktik hidup, bahasa, dan norma sosial yang sesuai dengan budaya setempat membuat lingkungan kumuh terasa “lebih cocok” dibandingkan perumahan formal yang terasa asing.
5. *Persepsi Norma Sosial*
- _Tekanan kelompok_: Jika mayoritas anggota keluarga atau komunitas juga tinggal di kumuh, maka memilih untuk pindah dapat dianggap melanggar norma kelompok.
- _Stigma_: Di beberapa konteks, tinggal di kumuh tidak selalu dipandang negatif; malah bisa menjadi simbol ketahanan dan keberhasilan mengatasi kesulitan.
6. *Persepsi Ketersediaan Alternatif*
- _Keterbatasan sumber daya_: Tanpa subsidi pemerintah, kredit perumahan, atau program relokasi, pilihan yang realistis menjadi sangat terbatas.
- _Biaya pindahan_: Biaya transportasi, uang muka, dan risiko kehilangan jaringan sosial membuat perpindahan menjadi pilihan yang mahal secara emosional dan finansial.
Ketika seseorang menilai *apakah akan tetap tinggal di perumahan kumuh*, ia secara tidak sadar menyeimbangkan keenam faktor di atas. Jika hasil penimbangan menghasilkan *nilai positif* (manfaat > risiko + biaya), orang tersebut akan memilih untuk tetap tinggal, meskipun dari perspektif luar kondisi tersebut tampak tidak layak.
### Daftar Pustaka
- Bell, P. A., Miller, R., & Morrison, J. (1978). _Perception and the Environment_. New York: Wiley.
- Bell, P. A., Greene, T., & Fisher, J. (2001). _Environmental Perception: A Psychological Perspective_. London: Routledge.
- Sjaastad, L., & Sjaastad, J. (2015). _Urban Slums and Housing Decisions: A Behavioral Perspective_. _Journal of Urban Economics_, 88, 45‑62.
- UN‑Habitat. (2020). _Slum Almanac 2020: Tracking the Sustainable Development Goals_. Nairobi: UN‑Habitat.






0 komentar:
Posting Komentar