Antara Keterbatasan dan Harapan: Mengapa Mereka Tetap Tinggal
Oleh: Deltha Arthaliya - 24310430209 - SPSJ
Sebuah pemukiman padat penduduk di Amerika Selatan, dengan dinding lusuh, cat yang terkelupas, jendela tak beraturan. Seringkali pemandangan seperti itu, menimbulkan rasa iba. Bangunan tua yang kotor sering dianggap tidak layak huni. Namun, dibalik jendela-jendela, tembok-tembok lusuh itu, ada kehidupan yang terus berjalan, anak-anak kecil tertawa, ibu-ibu menjemur pakaian, dan suara musik yang samar terdengar dari dalam bangunan. Pemandangan itu, memperlihatkan kisah tentang ketahanan, keterikatan, dan harapan. Mengapa ada orang yang tetap tinggal di sana? Karena tidak punya pilihan, bisa jadi ini adalah jawabannya. Namun, bisa jadi pilihan itu sering kali sarat makna.
Persepsi merupakan sebuah proses untuk mendeteksi dan menginterpretasi stimulus yang diterima oleh indera yang dimiliki manusia. Proses ini melibatkan pengetahuan. Menurut Paul A. Bell, Greene, Fisher & Baum (2001), perilaku orang terhadap lingkungan berawal dari proses persepsi, bagaimana seseorang menafsirkan dan memberi makna terhadap lingkungannya. Persepsi antara satu individu dengan yang lain, bisa berbeda. Bagi sebagian orang, tempat itu mungkin tampak kumuh, tetapi bagi sebagian orang lainnya, bisa menjadi tempat yang memberikan rasa aman, penuh kenangan, dan memberikan kedekatan sosial. Bagi mereka, menilai lingkungan bukan hanya dari tampilan fisik, melainkan dari rasa memiliki dan hubungan sosial yang ada di dalamnya.
Bagi penghuni pemukiman padat penduduk, rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga ruang sosial. Di sana, mereka dapat membangun relasi yang erat dengan tetangga, berbagi makanan, menjaga anak bersama, dan saling membantu dalam kesulitan. Studi oleh Sari & Wibowo (2021) menunjukkan bahwa ikatan sosial menjadi salah satu alasan utama bertahan di pemukiman tersebut, meskipun kondisi fisik lingkungan tidak layak. Kehidupan komunal menciptakan rasa aman yang tidak selalu bisa ditemukan di perumahan elit. Ketika seorang sakit, tetangga datang membantu, tradisi perayaan yang diikuti oleh semua warga, gotong royong dalam membersihkan tempat umum. Dalam dunia yang semakin individualistik, solidaritas lokal menjadi harta yang tak ternilai.
Pemukiman padat penduduk sering kali berada di lokasi strategis, dekat pasar, terminal, pusat kota, atau kawasan industri. Bagi pekerja informal seperti pedagang kaki lima, tukang ojek, atau buruh harian, tinggal di lokasi ini dapat mengurangi biaya transportasi dan memudahkan akses kerja. Selain itu, biaya sewa atau kepemilikan rumah di kawasan kumuh jauh lebih terjangkau. Dalam konteks keterbatasan ekonomi, pilihan tinggal di sana adalah bentuk adaptasi terhadap realitas hidup.
Meskipun lingkungan fisik tidak layak, banyak penghuni pemukiman padat penduduk tetap memiliki harapan. Mereka memperbaiki rumah sedikit demi sedikit, menyekolahkan anak, dan berpartisipasi dalam kegiatan warga. Bagi mereka, tinggal di sana bukan bentuk menyerah, tetapi cara bertahan dan membangun masa depan.
Dalam skema persepsi Bell, individu yang merupakan penghuni dengan penghasilan rendah atau memiliki keterbatasan ekonomi, berhadapan dengan objek fisik (lingkungan pemukiman yang padat) kemudian diolah melalui persepsi. Apabila kondisi lingkungan masih dalam batas yang dapat diterima, individu akan berada dalam keadaan homeostatis (seimbang secara psikologis). Namun, apabila lingkungan dirasakan berat, muncul stres, dan untuk mengatasinya, individu melakukan coping (seperti membersihkan rumah, memperkuat hubungan dengan tetangga). Inilah bentuk adaptasi dan adjusment yang memungkinkan mereka tetap bertahan, meski di tengah keterbatasan.
Patimah, Shinta dan Amin Al-Adib menjelaskan bahwal persepsi terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor sosial dan emosional, seseorang dapat merasa nyaman bukan karena lingkungan indah, tetapi karena ia merasa diterima oleh masyarakat di dalamnya.
Tidak semua orang menilai lingkungan kumuh sebagai tempat yang tidak layak huni. Persepsi mereka dibentuk oleh pengalaman, kebutuhan, dan nilai-nilai sosial yang dekat dalam kehidupannya. Karena itu, bagi sebagian orang, tempat yang secara fisik tampak buruk tetap bisa menjadi “rumah”, menjadi tempat di mana mereka merasa aman, terhubung, dan diterima. Memahami mengapa orang tinggal di pemukiman padat penduduk bukan soal mencari pembenaran, tetapi soal membuka mata terhadap kompleksitas pilihan hidup. Di sana ada keterbatasa, tapi juga ada harapan, solidaritas, dan perjuangan.
Daftar Pustaka
Bell, A. P., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology (5th ed.). Harcourt College Publishers.
Patimah, A. S., Shinta, A., & Amin Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.
Sari, D. P., & Wibowo, A. (2021). Kebertahanan masyarakat pada permukiman kumuh berdasarkan aspek sosial ekonomi. Jurnal Dinamika Kota, 18(2), 45–56. https://jurnal.uns.ac.id/jdk/article/view/43694
Widyastuti, R., & Pramitasari, R. (2022). Permukiman kumuh ditinjau dari kontinum formal dan informal. Jurnal Mahardika Geografi, 1(1), 1–10. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/MKG/article/view/65945







0 komentar:
Posting Komentar