Selasa, 11 November 2025

Permukiman Kumuh di Afrika Selatan: Tinjauan Berdasarkan Skema Persepsi Paul A. Bell dkk.

 

                 UJUAN TENGAH SEMESTER :NOVEMBER  2025

                 INSTITUSI   :FAK. PSIKOLOGI  UNIVERSITAS PROKELAMASI  45 YOGYARATA

                       MATA KULIA/DOSEN     : PSIKOLOGI LINGKUNGAN /ARUNDATI SHINTA

                       HARI TANGGAL              : SEELASA 11 NOVEMBER 2025

 

                                                         Nama :Yonas Yogi

Nim :24310410021

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta 

 

Mengapa Orang Bersedia Tinggal di Permukiman Kumuh di Afrika Selatan: Tinjauan Berdasarkan Skema Persepsi Paul A. Bell dkk. 

            Permukiman kumuh di Afrika Selatan, seperti Soweto, Khayelitsha, atau Alexandra, merupakan kawasan yang sering dikaitkan dengan kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan fasilitas publik. Dari sudut pandang orang luar, tempat-tempat ini tampak tidak layak huni dan seolah menjadi simbol kegagalan pembangunan kota. Namun kenyataannya, banyak masyarakat yang tetap memilih untuk tinggal di wilayah tersebut, bahkan membangun kehidupan sosial dan ekonomi yang stabil di dalamnya. Fenomena ini dapat dipahami dengan menggunakan skema persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Paul A. Bell, Thomas C. Greene, Jeffrey D. Fisher, dan Andrew Baum (2001) dalam buku Environmental Psychology. Menurut Bell dan kawan-kawan, persepsi terhadap lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik semata, tetapi juga oleh cara individu menafsirkan, menilai, dan memberi makna terhadap tempat tersebut. Persepsi ini terbentuk melalui pengalaman, emosi, interaksi sosial, dan nilai-nilai budaya yang melekat pada individu. Dengan demikian, keputusan untuk tinggal di permukiman kumuh di Afrika Selatan tidak dapat dijelaskan hanya dari faktor ekonomi, tetapi juga dari cara penghuni memaknai dan beradaptasi terhadap lingkungannya.

1. Perepsi Fungsional

Bell dkk. menjelaskan bahwa manusia menilai lingkungan berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Permukiman kumuh di Afrika Selatan biasanya terletak dekat dengan pusat kota, pasar, dan sarana transportasi umum. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, lokasi ini menawarkan akses yang mudah terhadap pekerjaan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun kondisi tempat tinggalnya sederhana dan kurang layak, secara fungsional kawasan tersebut memenuhi kebutuhan utama mereka. Artinya, lingkungan yang secara fisik “buruk” tetap dipersepsi sebagai tempat yang strategis dan efisien untuk bertahan hidup.

2. Persepsi Sosial dan Emosional

Selain pertimbangan fungsional, faktor emosional dan sosial juga berperan besar. Bell dkk. menekankan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk membentuk keterikatan emosional terhadap lingkungannya. Di banyak permukiman kumuh di Afrika Selatan, hubungan sosial antarwarga sangat kuat. Mereka saling membantu, berbagi makanan, dan menjaga keamanan lingkungan bersama. Rasa kebersamaan ini menimbulkan sense of belonging—perasaan memiliki dan diterima—yang sangat penting bagi kesejahteraan psikologis. Bagi sebagian besar penghuni, rasa aman secara sosial ini jauh lebih berharga dibandingkan kenyamanan fisik yang mungkin mereka dapatkan di tempat lain.

3. Persepsi Kognitif

Menurut Bell dan kawan-kawan, individu memiliki peta kognitif (cognitive map) tentang lingkungan tempat tinggalnya. Penduduk permukiman kumuh memiliki pemahaman yang mendalam tentang ruang hidup mereka: mereka tahu jalur tercepat menuju pasar, sumber air, atau siapa yang dapat membantu ketika ada masalah. Peta kognitif ini memberikan rasa kendali dan keakraban terhadap lingkungan, sehingga mereka merasa lebih nyaman tinggal di sana daripada di tempat baru yang belum dikenal.

4. Persepsi Identitas dan Nilai

Lingkungan juga berfungsi sebagai bagian dari identitas diri dan sosial seseorang. Bagi sebagian penduduk di Afrika Selatan, terutama mereka yang tinggal di wilayah bersejarah seperti Soweto, tempat tinggal memiliki nilai simbolik dan kultural. Daerah tersebut menjadi bagian dari sejarah perjuangan melawan apartheid, sehingga keberadaannya mengandung makna kebanggaan dan identitas kolektif. Dengan demikian, tinggal di kawasan itu bukan sekadar pilihan praktis, tetapi juga bentuk pengakuan terhadap akar sejarah dan budaya.

5. Persepsi Adaptif

 Bell dkk. juga menyoroti kemampuan manusia untuk beradaptasi secara perseptual terhadap kondisi lingkungan. Penghuni permukiman kumuh lambat laun menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang ada. Mereka memperbaiki rumah, menciptakan sistem gotong royong, serta mengembangkan pola hidup yang efisien. Proses adaptasi ini menjadikan lingkungan yang awalnya penuh keterbatasan menjadi ruang yang bermakna bagi kehidupan mereka.

Kesimpulan

Berdasarkan skema persepsi dari Paul A. Bell dan rekan-rekannya, dapat disimpulkan bahwa pilihan untuk tetap tinggal di permukiman kumuh di Afrika Selatan tidak hanya didorong oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh cara individu memaknai lingkungan secara fungsional, sosial, emosional, kognitif, dan identitas. Persepsi yang terbentuk ini membuat lingkungan yang dianggap “buruk” oleh orang luar justru menjadi tempat yang penuh arti bagi penghuninya. Dengan demikian, pemahaman terhadap persepsi lingkungan membantu kita melihat bahwa “rumah” tidak selalu ditentukan oleh kondisi fisik, melainkan oleh makna, hubungan sosial, dan rasa memiliki yang tumbuh di dalamnya.

 

Daftar Pustaka

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Psikologi Lingkungan (edisi ke-5). Fort Worth: Harcourt College Publishers.

Donaldson, R., & du Plessis, D. (2013). Program Pembaruan Perkotaan sebagai Pendekatan Berbasis Wilayah untuk Memperbarui Permukiman: Pengalaman dari Kawasan Pusat Bisnis Khayelitsha, Cape Town, Afrika Selatan. Habitat International, 39, 295–301.

Turok, I. (2012). Urbanisasi dan Pembangunan di Afrika Selatan: Keharusan Ekonomi, Distorsi Spasial, dan Respons Strategis. Seri Makalah Penelitian Urbanisasi, 8, 1–70

 

0 komentar:

Posting Komentar