Selasa, 11 November 2025

Persepsi dan Kenyataan: Mengapa Sebagian Orang Tetap Tinggal di Lingkungan Kumuh

                Essai Ujian Tengah Semester 

                              


Ujian Tengah Semester Psikologi Lingkungan 
Ratu Sabinawangi Nauli Harahap
NIM 24310410204
Kelas A
Dosen Pengampu: Arundati Shinta 
Fakultas Psikologi 
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta 


Foto perumahan yang tampak kumuh dan tidak terawat tersebut memunculkan reaksi spontan berupa penolakan dari sebagian besar orang. Sebagian besar mahasiswa, termasuk saya, langsung menilai tempat itu sebagai lingkungan yang tidak nyaman untuk dihuni. Persepsi ini muncul begitu cepat, karena kita cenderung menilai suatu tempat berdasarkan kesan visual awal. Namun, jika kita menggunakan kerangka persepsi lingkungan dari Paul A. Bell dan rekan-rekannya, kita dapat memahami bahwa keputusan seseorang untuk tinggal di suatu tempat tidak hanya didasari oleh kondisi fisik lingkungan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor personal, pengalaman, kebutuhan, nilai, hingga makna yang diberikan individu terhadap lingkungan tersebut.

Persepsi lingkungan menurut Bell et al. tidak berdiri sendiri. Ia terbentuk melalui interaksi antara karakteristik fisik tempat, karakteristik individu, dan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Dalam kasus perumahan yang tampak kumuh ini, mahasiswa yang melihat foto tersebut melihatnya sebagai “tempat yang kotor, tidak aman, dan tidak nyaman”. Hal ini karena mereka menilai berdasarkan standar lingkungan yang selama ini mereka tinggali atau mereka bayangkan sebagai “ideal”. Dengan kata lain, persepsi mereka dibentuk oleh pengalaman, latar belakang sosial, dan nilai hidup yang mereka pegang. Mereka terbiasa dengan lingkungan yang lebih terawat, sehingga lingkungan pada foto tampak tidak layak huni.

Namun, bagi para penghuni yang tinggal di dalamnya, persepsi dapat sangat berbeda. Lingkungan yang bagi orang luar tampak kumuh, bagi mereka mungkin adalah satu-satunya tempat yang terjangkau secara ekonomi. Faktor keterbatasan sumber daya dan kondisi sosial ekonomi merupakan salah satu alasan kuat mengapa seseorang memilih untuk tinggal di tempat tersebut. Dalam kerangka Bell, ini berkaitan dengan “personal needs dan situational constraints”. Keputusan tinggal bukan hanya soal kesukaan, tetapi soal kebutuhan dasar seperti tempat berlindung, akses pekerjaan, kedekatan dengan keluarga, atau jaringan sosial.

Selain itu, lingkungan juga dapat memiliki makna emosional. Tempat yang tampak buruk dari luar bisa saja mengandung pengalaman hidup, hubungan sosial yang kuat, rasa kebersamaan, atau rasa memiliki (place attachment). Penduduk yang telah lama tinggal mungkin sudah membangun hubungan sosial yang saling mendukung dengan tetangga sekitar. Bell menyebut hal ini sebagai pengaruh “cognitive maps” dan “experience-based meaning”. Lingkungan tidak hanya dipahami sebagai ruang fisik, tetapi sebagai ruang hidup yang berisi kenangan, rutinitas, dan identitas diri. Seseorang mungkin merasa lebih nyaman tinggal di lingkungan yang sederhana namun akrab, dibanding tinggal di lingkungan yang lebih bersih namun asing.

Ada juga kemungkinan bahwa penghuni telah beradaptasi secara psikologis terhadap kondisi lingkungannya. Dalam teori persepsi lingkungan Bell, adaptasi terjadi ketika individu terbiasa dengan stimulus yang sama dalam jangka panjang. Hal yang tampak mengganggu bagi orang luar mungkin tidak lagi dirasakan mengganggu oleh mereka. Persepsi mengenai “kenyamanan” dan “ketidaknyamanan” tidak bersifat mutlak, melainkan dapat berubah sesuai kebiasaan dan pengalaman.

Dengan demikian, keputusan seseorang untuk tinggal di lingkungan yang tampak kumuh bukan semata-mata karena tidak memiliki pilihan, tetapi bisa juga karena lingkungan tersebut telah menjadi bagian dari hidupnya, tempat ia membangun hubungan sosial, mengalami perkembangan hidup, dan menemukan rasa diterima. Lingkungan tidak selalu dinilai dari kecantikan fisiknya, tetapi dari makna yang ia punya bagi penghuninya.

Daftar Pustaka

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology (5th ed.). Harcourt Brace College Publishers.

Patimah, S., Nurhidayah, I., & Rahmawati, T. (2024). Psikologi Lingkungan: Konsep dan Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.





0 komentar:

Posting Komentar