ESSAI
UJIAN TENGAH SEMESTER
Itsnaini Latifatur Rohmah (24310440001)
Psikologi Lingkungan
Universitas Proklamari 45
Yogyakarta
Ketika
Rumah Bukan Lagi Tentang Fisik: Persepsi, Adaptasi, dan Keterikatan Sosial di
Lingkungan Kumuh
Foto
bangunan kumuh di Amerika Selatan sering memunculkan rasa tidak nyaman bagi
siapa pun yang melihatnya. Dinding penuh lumut, cat terkelupas, dan jendela
rusak membuat banyak orang langsung menolak untuk tinggal di sana. Namun,
faktanya masih ada penghuni yang memilih menetap di lingkungan seperti itu.
Jika dilihat dari perspektif Psikologi Lingkungan, keputusan tersebut tidak
semata karena keterpaksaan ekonomi, melainkan juga hasil dari proses persepsi
dan adaptasi individu terhadap lingkungannya, sebagaimana dijelaskan oleh Paul
A. Bell, dkk (2001).
Menurut
Bell, persepsi lingkungan terbentuk melalui tiga tahapan utama: input sensorik,
proses kognitif, dan respon perilaku. Individu menerima rangsangan dari
lingkungan, lalu memprosesnya berdasarkan pengalaman, nilai, dan keyakinan yang
dimiliki. Dalam konteks foto tersebut, penghuni mungkin tidak lagi melihat
bangunan itu sebagai tempat yang kumuh, tetapi sebagai “rumah” yang memberi
rasa aman dan memiliki nilai emosional. Seiring waktu, muncul bentuk environmental
adaptation, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi yang tidak
ideal untuk mempertahankan keseimbangan psikologis (Patimah dkk, 2024).
Dalam
budaya kolektivistik seperti masyarakat Indonesia, keterikatan sosial menjadi
salah satu faktor kuat yang memengaruhi persepsi dan perilaku terhadap
lingkungan. Orang akan lebih mudah bertahan di tempat yang kurang layak bila
masih memiliki jaringan sosial yang solid, seperti keluarga atau tetangga yang
saling membantu. Hal ini sejalan dengan konsep homeostasis dari Bell, di
mana manusia berupaya menjaga keseimbangan antara kenyamanan psikologis dan
kondisi lingkungan yang menekan (Sarwono, 1995). Jadi, yang membuat seseorang
betah bukan semata karena fisik bangunan, tetapi juga kehangatan relasi sosial
yang terbangun di dalamnya.
Penelitian
Setiawan, dkk (2023) mendukung pandangan ini. Mereka menemukan bahwa penghuni
kawasan kumuh di Indonesia tetap memiliki place attachment atau rasa
keterikatan yang tinggi terhadap lingkungannya. Rasa memiliki tersebut muncul
karena adanya kenangan, interaksi sosial, dan perasaan aman secara emosional,
meskipun kondisi fisiknya buruk. Dengan kata lain, persepsi “nyaman” tidak
hanya ditentukan oleh kebersihan atau keindahan tempat, tetapi juga oleh makna
personal dan sosial yang dilekatkan individu pada lingkungan tersebut.
Lahoti,
dkk. (2023) menjelaskan bahwa persepsi terhadap lingkungan sangat dipengaruhi
oleh faktor sosial dan budaya. Dalam penelitiannya di India, masyarakat dengan
tingkat kolektivitas tinggi cenderung menilai ruang publik bukan dari
kebersihannya, melainkan dari sejauh mana tempat itu mendukung interaksi
sosial. Hal ini menjelaskan mengapa banyak komunitas tetap bertahan di wilayah
yang tidak nyaman secara fisik, tetapi kaya akan koneksi sosial dan
kebersamaan. Bila dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari, fenomena ini bisa kita temui di beberapa wilayah padat
di Indonesia. Banyak keluarga tetap memilih tinggal di perkampungan sempit
karena sudah merasa “nyaman” dengan tetangga dan lingkungan yang mereka kenal sejak
kecil. Mereka mungkin sadar bahwa lingkungannya tidak sehat, namun rasa
keterikatan sosial dan identitas komunitas lebih kuat daripada dorongan untuk
pindah. Ini membuktikan bahwa persepsi tidak selalu objektif, tetapi dibentuk
oleh makna subjektif dan konteks budaya yang melekat.
Dari
perspektif Psikologi Lingkungan, fenomena tinggal di tempat kumuh bukan sekadar
persoalan ekonomi, tetapi juga cerminan proses adaptasi manusia terhadap
keterbatasan. Individu menafsirkan lingkungannya dengan cara yang meminimalkan
stres dan mempertahankan keseimbangan emosional. Dengan memahami hal ini,
pendekatan perbaikan lingkungan seharusnya tidak hanya fokus pada aspek fisik,
tetapi juga pada aspek psikologis dan sosial yang membentuk persepsi warga
terhadap tempat tinggalnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bell, A.P., Greene, T.C., Fisher, J.D. & Baum, A. (2001).
Environmental psychology. 5th ed. Harcourt College
Publishers.
Patimah, A.S., Shinta, A. & Amin Al-Adib, A. (2024).
Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal
Psikologi. 20(1), Maret, 23-29.
https://ejournal.up45.ac.id/index.php/psikologi/article/view/1807
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta:
Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.
Setiawan,
T., Riasnugrahani, M., & de Jong, E. (2023). Psychometric properties of
Indonesian slums dwellers’ place attachment. Heliyon, 9(9), e19704.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e19704
Lahoti,
S. A., Dhyani, S., & Saito, O. (2023). Preferences and perception
influencing usage of neighborhood public urban green spaces in fast urbanizing
Indian city. Land, 12(9), 1664.






0 komentar:
Posting Komentar