Selasa, 11 November 2025

Esai UTS Psikologi Lingkungan

 

Antara Terpaksa dan Keputusan Tinggal: Mengapa Penghuni Memilih Bertahan di Hunian Kumuh

Oleh : Iqbal Fahri Alfarisyi | 24310410012 | SPSJ

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A.




 




        Setiap manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan dasar akan tempat tinggal yang aman dan nyaman. Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, memiliki rumah yang aman dan bersih termasuk dalam tingkatan piramida kedua dari bawah, yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs) (Mustofa, 2022). Secara realitas sosial banyak negara menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan tersebut. Di beberapa kawasan, terutama di negara-negara berkembang banyak sekali tempat tinggal yang tidak layak dihuni, seperti perumahan yang kumuh, tempat bangunan rapuh, dan cat dinding terkelupas, akan tetapi masih dihuni oleh orang banyak.

        Menurut Paul A. Bell dalam bukunya Envioronmental Psychology, bahwasanya persepsi terhadap lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik, tetapi juga oleh faktor kognitif, sosial, budaya, serta pengalaman pribadi (Bell et al., 2001). Arti dari kutipan tersebut, apa yang seseorang lihat tidak selalu sama dengan apa yang dirasakan. Contohnya, dua orang berada di tempat yang sama, namun menilai lingkungan itu secara berbeda. Bagi sebagian orang, perumahan kumuh adalah simbol kemiskinan dan ketidaknyamanan, namun sebagian lain, tempat itu bisa berarti rasa memiliki, kenyamanan, atau bahkan keamanan karena sudah terbiasa hidup di sana.

        Konsep place aattachment atau ketertarikan terhadap tempat memiliki peran besar dalam keputusan seseorang untuk tinggal. Teori ini dikembangkan oleh Scannell dan Gifford, yang menjelaskan bahwa keterikatan terhadap tempat (place aattechment) terbentuk melalui tiga komponen utama, yaitu person (individu yang memiliki hubungan dengan tempat), psychological process (proses emosional yang memiliki hubungan dengan tempat), dan place (lokasi atau lingkungan yang menjadi objek keterikatan) (Scannell & Gifford, 2017). Dalam penelitian (İnal-Çekiç et al., 2024) menemukan bahwa warga di kawasan kumuh Istanbul tetap bertahan karena memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap lingkungannya. Masyarakat yang tinggal di sana merasa bagian dari komunitas, memiliki kenangan masa kecil, serta relasi sosial yang sulit tergantikan. Kasus tersebut menunjukkan bahwa tempat tinggal tidak lagi sekedar bangunan fisik, tetapi juga ruangan identitas dan kebersamaan antar penghuninya.

        Studi lain oleh (Wright & Kloos, 2007)  menunjukkan bahwa persepsi terhadap kondisi tempat tinggal dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Ketika seseorang memiliki kendali atau makna terhadap lingkungannya, meskipun secara fisik buruk, tingkat stresnya dapat lebih rendah dibanding orang yang merasa tertekan meski tinggal di tempat yang lebih baik.

Kesimpulan:

        Berdasarkan berbagai kajian dan teori psikologi lingkungan, dapat disimpulkan bahwa keputusan penghuni untuk tetap tinggal di hunian kumuh tidak semata karena keterbatasan ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, dan budaya. Rasa keterikatan terhadap tempat (place attachment) , kedekatan dengan lingkungan sosial, serta persepsi akan kenyamanan dan keamanan relatif membuat masyarakat lebih memilih bertahan meskipun kondisi fisiknya kurang layak. Dengan kata lain, terpaksa tinggal menjadi keputusan untuk tetap tinggal karena adanya nilai-nilai emosional, identitas, dan solidaritas yang melekat pada lingkungan tersebut.

        Seperti yang dikatakan oleh Paul A. Bell, “Perception of the envioroment acts as a filter through which all experience must pass before it can influence behavior (Bell et al., 2001).” Dengan kata lain, lingkungan yang sama bisa menghasilkan keputusan yang berbeda-beda, tergantung pada bagaimana seseorang memersepsikannya. Bagi sebagian orang, hunian kumuh mungkin tampak tidak layak huni, namun bagi penghuninya, tempat itu bisa menjadi ruang penuh makna, tempat di mana identitas, kebersamaan, dan kenangan.

 


Referensi:

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology. In  TA  - TT  - (5th ed). Lawrence Erlbaum. https://doi.org/ LK  - https://worldcat.org/title/439941141

İnal-Çekiç, T., Kozaman-Aygün, S., & Bilen, Ö. (2024). Reflections on “place attachment”: perceptions of urban redevelopment in an informal neighborhood in Istanbul. Journal of Housing and the Built Environment, 39(1), 1–20. https://doi.org/10.1007/s10901-023-10037-x

Mustofa, A. Z. (2022). Hierarchy of Human Needs: A Humanistic Psychology Approach of Abraham Maslow. Kawanua International Journal of Multicultural Studies, 3(2), 30–35. https://doi.org/10.30984/kijms.v3i2.282

Scannell, L., & Gifford, R. (2017). The experienced psychological benefits of place attachment. Journal of Environmental Psychology, 51, 256–269. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2017.04.001

Wright, P., & Kloos, B. (2007). Housing environment and mental health outcomes: A levels of analysis perspective. Journal of Environmental Psychology, 27, 79–89. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2006.12.001

 

0 komentar:

Posting Komentar