Antara
Terpaksa dan Keputusan Tinggal: Mengapa Penghuni Memilih Bertahan di Hunian
Kumuh
Oleh :
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A.
Setiap
manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan dasar akan tempat tinggal yang aman
dan nyaman. Berdasarkan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, memiliki rumah
yang aman dan bersih termasuk dalam tingkatan piramida kedua dari bawah, yaitu
kebutuhan akan rasa aman (safety needs) (Mustofa, 2022). Secara realitas
sosial banyak negara menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan
tersebut. Di beberapa kawasan, terutama di negara-negara berkembang banyak
sekali tempat tinggal yang tidak layak dihuni, seperti perumahan yang kumuh, tempat
bangunan rapuh, dan cat dinding terkelupas, akan tetapi masih dihuni oleh orang
banyak.
Menurut
Paul A. Bell dalam bukunya Envioronmental Psychology, bahwasanya
persepsi terhadap lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik, tetapi
juga oleh faktor kognitif, sosial, budaya, serta pengalaman pribadi (Bell et al., 2001). Arti dari
kutipan tersebut, apa yang seseorang lihat tidak selalu sama dengan apa yang
dirasakan. Contohnya, dua orang berada di tempat yang sama, namun menilai
lingkungan itu secara berbeda. Bagi sebagian orang, perumahan kumuh adalah
simbol kemiskinan dan ketidaknyamanan, namun sebagian lain, tempat itu bisa
berarti rasa memiliki, kenyamanan, atau bahkan keamanan karena sudah terbiasa
hidup di sana.
Konsep
place aattachment atau ketertarikan terhadap tempat memiliki peran besar
dalam keputusan seseorang untuk tinggal. Teori ini dikembangkan oleh Scannell
dan Gifford, yang menjelaskan bahwa keterikatan terhadap tempat (place
aattechment) terbentuk melalui tiga komponen utama, yaitu person (individu
yang memiliki hubungan dengan tempat), psychological process (proses
emosional yang memiliki hubungan dengan tempat), dan place (lokasi
atau lingkungan yang menjadi objek keterikatan) (Scannell & Gifford, 2017). Dalam
penelitian (İnal-Çekiç et al., 2024) menemukan bahwa
warga di kawasan kumuh Istanbul tetap bertahan karena memiliki ikatan emosional
yang kuat terhadap lingkungannya. Masyarakat yang tinggal di sana merasa bagian
dari komunitas, memiliki kenangan masa kecil, serta relasi sosial yang sulit tergantikan.
Kasus tersebut menunjukkan bahwa tempat tinggal tidak lagi sekedar bangunan
fisik, tetapi juga ruangan identitas dan kebersamaan antar penghuninya.
Studi
lain oleh (Wright & Kloos, 2007) menunjukkan bahwa persepsi terhadap kondisi
tempat tinggal dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Ketika
seseorang memiliki kendali atau makna terhadap lingkungannya, meskipun secara
fisik buruk, tingkat stresnya dapat lebih rendah dibanding orang yang merasa
tertekan meski tinggal di tempat yang lebih baik.
Kesimpulan:
Berdasarkan
berbagai kajian dan teori psikologi lingkungan, dapat disimpulkan bahwa
keputusan penghuni untuk tetap tinggal di hunian kumuh tidak semata karena
keterbatasan ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial,
dan budaya. Rasa keterikatan terhadap tempat (place attachment) ,
kedekatan dengan lingkungan sosial, serta persepsi akan kenyamanan dan keamanan
relatif membuat masyarakat lebih memilih bertahan meskipun kondisi fisiknya
kurang layak. Dengan kata lain, terpaksa tinggal menjadi keputusan untuk tetap
tinggal karena adanya nilai-nilai emosional, identitas, dan solidaritas yang
melekat pada lingkungan tersebut.
Seperti
yang dikatakan oleh Paul A. Bell, “Perception of the envioroment acts as a
filter through which all experience must pass before it can influence behavior (Bell et al., 2001).”
Dengan kata lain, lingkungan yang sama bisa menghasilkan keputusan yang
berbeda-beda, tergantung pada bagaimana seseorang memersepsikannya. Bagi
sebagian orang, hunian kumuh mungkin tampak tidak layak huni, namun bagi
penghuninya, tempat itu bisa menjadi ruang penuh makna, tempat di mana identitas,
kebersamaan, dan kenangan.
Referensi:
Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A.
(2001). Environmental psychology. In TA -
TT - (5th ed). Lawrence Erlbaum.
https://doi.org/ LK -
https://worldcat.org/title/439941141
İnal-Çekiç, T., Kozaman-Aygün, S., & Bilen, Ö. (2024).
Reflections on “place attachment”: perceptions of urban redevelopment in an
informal neighborhood in Istanbul. Journal of Housing and the Built
Environment, 39(1), 1–20. https://doi.org/10.1007/s10901-023-10037-x
Mustofa, A. Z. (2022). Hierarchy of Human Needs: A Humanistic
Psychology Approach of Abraham Maslow. Kawanua International Journal of
Multicultural Studies, 3(2), 30–35.
https://doi.org/10.30984/kijms.v3i2.282
Scannell, L., & Gifford, R. (2017). The experienced
psychological benefits of place attachment. Journal of Environmental
Psychology, 51, 256–269.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2017.04.001
Wright, P., & Kloos, B. (2007). Housing environment and
mental health outcomes: A levels of analysis perspective. Journal of
Environmental Psychology, 27, 79–89.
https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2006.12.001






0 komentar:
Posting Komentar