Selasa, 11 November 2025

UTS PSI LINGKUNGAN MUHAMMAD HAFIDZ JALLALUDDIN ANTARAPUTERA

https://docs.google.com/document/d/1bxFaI-hWJArlXNO_lKDkttDN4sDo_hXW/edit?usp=sharing&ouid=106003821665008731891&rtpof=true&sd=true Nama Muhammad Hafidz Jalaluddin Antaraputra Nim 24310410003 UTS PSIKOLOG LINGKUNGAN Fenomena perbedaan cara memandang perumahan antara mahasiswa dan penghuni di Amerika Selatan bisa dijelaskan dengan teori persepsi lingkungan yang dipelopori Paul A. Bell dan timnya pada tahun 2001. Dalam mata kuliah Psikologi Lingkungan, foto perumahan tersebut membuat reaksi yang sama dari para mahasiswa, yaitu merasa lingkungan itu kumuh, tidak nyaman, dan tidak layak huni. Mayoritas mahasiswa menyatakan tidak mau tinggal di sana kecuali dalam situasi yang memaksa. Bahkan jika harus tinggal, mereka berencana membersihkan, mengecat ulang, dan memperbaikinya. Namun fakta bahwa perumahan itu masih dihuni menunjukkan bahwa penghuni memiliki cara memandang lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini bisa dijelaskan melalui skema persepsi lingkungan menurut Bell dan rekan-rekannya. Menurut Bell dkk. (2001), cara seseorang memandang lingkungan adalah hasil dari proses aktif tubuh dalam menerima, memilih, mengatur, dan memahami rangsangan dari lingkungan fisik. Proses ini bukan semata-mata pasif, melainkan dipengaruhi oleh faktor internal seperti kebutuhan, nilai, motivasi, dan pengalaman, serta faktor eksternal seperti situasi sosial, ekonomi, dan budaya. Sarwono (1995) juga mengatakan bahwa cara seseorang memandang lingkungan sangat tergantung pada makna yang ia berikan terhadap rangsangan tersebut. Jadi, dua orang yang menghadapi lingkungan atau objek yang sama bisa memiliki perasaan yang berbeda karena perbedaan dalam faktor pembentuk makna itu. Tahap pertama dalam skema persepsi adalah menerima rangsangan lingkungan. Dalam kasus ini, rangsangan yang diterima adalah kondisi fisik perumahan yang tampak padat, kusam, dan tidak rapi. Bagi mahasiswa, penampilan tersebut secara visual membuat kesan buruk, karena tidak sesuai dengan standar estetika dan kenyamanan tempat tinggal yang mereka kenal. Namun bagi penghuni, rangsangan yang sama mungkin tidak memunculkan kesan negatif. Mereka bisa memandang lingkungan itu sebagai tempat yang memiliki nilai fungsional, seperti lokasi strategis, biaya sewa yang lebih murah, atau dekat dengan tempat bekerja dan fasilitas umum. Dengan demikian, rangsangan fisik yang sama bisa menghasilkan makna yang berbeda bagi kelompok yang berbeda. Tahap berikutnya adalah proses perhatian selektif. Di tahap ini, seseorang hanya memperhatikan hal-hal tertentu di sekitarnya yang dianggap penting untuk kebutuhan mereka. Mahasiswa cenderung lebih memperhatikan tampilan dan kondisi lingkungan, sedangkan warga lebih memperhatikan kemudahan akses dan hubungan dengan tetangga. Perbedaan ini memengaruhi cara orang mengelompokkan dan memahami stimulus di sekitarnya. Selanjutnya, pada tahap organisasi dan interpretasi, seseorang memberi arti pada apa yang dilihat berdasarkan pengalaman hidup, kebutuhan, dan nilai-nilai sosial yang dianut. Mahasiswa, karena pendidikan dan gaya hidup yang lebih tinggi, cenderung menganggap lingkungan tersebut sebagai tempat yang kumuh dan tidak nyaman. Sementara itu, warga perumahan memandang lingkungan yang sama sebagai tempat tinggal yang layak karena memenuhi kebutuhan dasar dan memberi rasa memiliki dengan tetangga. Di sini, interpretasi dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi: bagi orang yang berpenghasilan rendah, rumah sederhana namun terjangkau bisa dianggap ideal, sedangkan bagi orang dengan standar hidup yang lebih tinggi, kondisi fisik menjadi penentu utama kenyamanan. Tahap terakhir dalam proses memahami lingkungan adalah pembentukan persepsi dan perilaku. Interpretasi yang berbeda menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Mahasiswa memiliki persepsi negatif terhadap lingkungan tersebut, sehingga menolak tinggal di sana atau hanya bersedia tinggal jika lingkungan diperbaiki. Berbeda dengan warga perumahan yang memiliki persepsi positif dan adaptif karena menilai lingkungan sesuai dengan kebutuhan mereka. Persepsi positif ini mendorong mereka untuk tetap tinggal, beradaptasi, bahkan membangun hubungan sosial yang harmonis. Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa keputusan seseorang untuk tinggal atau tidak di suatu lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik, tetapi lebih tergantung pada makna yang dibentuk melalui proses persepsi. Proses ini melibatkan interaksi antara faktor individu, sosial, dan situasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Bell dkk. (2001), serta didukung oleh Sarwono (1995) dan Patimah et al. (2024), yang menekankan bahwa persepsi menjadi dasar dalam membentuk keputusan dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Dengan demikian, lingkungan yang terlihat kumuh bagi sebagian orang bisa dianggap nyaman dan layak oleh orang lain, karena persepsi manusia selalu dipengaruhi oleh konteks psikologis dan sosial di sekitarnya. Daftar Pustaka Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology (5th ed.). Fort Worth, TX: Harcourt College Publishers. Patimah, S., Hidayat, R., & Nuraini, F. (2024). Psikologi lingkungan: Teori dan aplikasi dalam konteks sosial modern. Bandung: Penerbit Psymedia. Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

0 komentar:

Posting Komentar