Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Klinik Karir

Rabu, 26 November 2025

Psikologi Lingkungan Esai 6 Eksperimen di Rumah Dosen

Mahasiswa Belajar Peduli Bumi: Eksperimen Berkelanjutan di Rumah Dosen, dari Sampah Menjadi Penghasilan

Oleh : Iqbal Fahri Alfarisyi | 24310410012 | SPSJ

Dosen Pembimbing : Dr. Shinta Arundita






        Sampah menjadi permasalahan utama di kalangan masyarakat, bahkan hingga saat ini pemerintah pun tidak memiliki solusi untuk menanganinya. Berbeda bagi orang-orang yang berpendidikan dan peka terhadap lingkungan. Penggiat sampah dan akademisi yang simpatisan terhadap bumi, justru berpandangan bahwa sampah bukanlah sumber masalah bahkan sampah itu bernilai dan sumber penghasilan. Permasalahan bukan terletak pada sampah, namun masalah sesungguhnya berada pada diri manusia yang tidak memiliki simpati pada lingkungan dan enggan mengelola sampah dari hasil makan atau barang yang telah dikonsumsinya.

        Yogyakarta, 23 November 2025 – Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Proklamasi 45 melakukan kunjungan pembelajaran ke rumah dosen Dr. Shinta Arundita, selaku pengampu mata kuliah Psikologi Lingkungan. Dalam kunjungan tersebut ada lima pembelajaran yang diajarkan, yaitu: belajar bertanggung jawab terhadap sampah yang diproduksinya sendiri, memanen dan membuat kompos, memanen dan membuat eco enzym, membuat sabun cair ramah lingkungan, dan merintis ecopreneur atau ekonomi sirkuler dengan membuat gantungan kunci. Mahasiswa dibagi tugas dan saya mendapatkan bagian pengelolaan pupuk kompos dan membuat gantungan kunci.


Belajar Bertanggung Jawab Terhadap Sampah Yang Diproduksinya Sendiri

      Dosen menyuguhkan tiga jenis makanan kepada mahasiswa: buah melon, kue-kue basah berbungkus plastik, dan lemper atau lontong yang berbungkus dari dedaunan. Semua makanan wajib dihabiskan. Sambil makan bersama, dosen membagikan pengalaman dan wawasan.

“Apakah kalian bisa mengelola sampah dari makanan atau barang yang dikonsumsi oleh kalian sendiri?” tanya dosen.

“Tidak, Bu. Biasanya dibuang ke tempat sampah dan nanti diangkut oleh petugas kebersihan” jawab mahasiswa.

“Justru di situ letak permasalahannya, kalian seharusnya bertanggung jawab terhadap apa yang telah kalian beli dan konsumsi. Jika memang tidak sanggup jangan dibeli, sehingga dalam psikologi disebut impulse control, yaitu kemampuan menahan diri dari keinginan yang tidak terkontrol. Jika terpaksa harus membelinya karena kelaparan atau butuh setidaknya jangan dibuang sembarangan dan dipisahkan jenis sampahnya” ujar dosen.

        Dari percakapan tersebut, wawasan saya terbuka bahwa tanggung jawab bukan hanya berlaku pada hal-hal besar atau masalah besar yang terlihat serius. Sampah kecil yang dihasilkan pun menjadi tanggung jawab pribadi.  Jika dibuang sembarangan, sampah kecil itu akan menumpuk dan berubah menjadi masalah yang besar yang dampaknya tidak hanya kembali pada diri sendiri, tetapi juga merusak alam dan mengganggu makhluk hidup lainnya.


Memanen Dan Membuat Kompos

        Mahasiswa diwajibkan membawa cangkang telur, yang mana akan dikelola menjadi bahan pupuk organik. Tahapan-tahapan cara pembuatan kompos yang diajarkan:

  • Sampah yang telah dikonsumsi berupa kulit melon dan sampah berbungkus dari dedaunan di potong kecil-kecil, kemudian dituangkan ke wadah yang berukuran besar.
  • Tuangkan daun kering, sampah dapur, dedek, grajen, kapur dolomit, dan air kulit bawang ke dalam wadah.
  • Campurkan Molase, EM4, air dan POC ke dalam ember. Tuangkan campuran ke dalam wadah, aduk hingga merata, kemudian masukkan ke dalam kendi yang  telah terdapat kompos di dalamnya.
  • Kompos diaduk dua hari sekali. Setlah 14 hari kompos siap digunakan. Tambahkan arang, abu gosok, dan kulit telur saat panen.


Merintis Ecopreneur Atau Ekonomi Sirkuler Dengan Membuat Gantungan Kunci


            Mahasiswa membuat gantungan kunci dari bahan-bahan sederhana yang telah disiapkan: pernik-pernik, tali karung goni berwarna cokelat, tali seperti tambang berwarna putih, dan key ring.






Selasa, 25 November 2025

 PENGELOLAAN SAMPAH TPST RANDU ALAS

SABTU 18 OKTOBER 2025 

NAMA : MUAINI

NIM: 25310420012

PSIKOLOGI LINGKUNGAN A 

DOSEN PENGAMPU Dr. Dra Arundati Shinta .M.A

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta  


 


Top of Form

Bottom of Form

 sabtu 18 oktober 2025 kami dapat kesempatan untuk belajar tentang pengolahan sampah yang ada di TPST Randu Alas, dengan di dampingi oleh dosen kami pengampu mata kuliah psikologi lingkungan ibu Dr. Dra Arundati Shinta .M.A memberi kita kesempatan untuk kelas psikologi lingkungan di pindah ke tempat yang istimewa ini yang mana disini kita diajarkan bagaimana pengilahan sampah sehari hari yang kita hasilkan dengan yang awalnya menggunakan alat sederhana karena kesadaran bapak Sujono dan kawan kawanya mengolahah sampah hingga memiliki alat yang lebih baik dan di tempat ini banyak penggerak peduli lingkungan mendapatkan ilmu untuk terus berbenah diri dan membuka kesadaran bahwa penting sekali untuk menjaga kebersihan dan mengolah sampah yang kita hasilkan setiap harinya.

Tempat Pengolahan Sampah TPST Randu Alas di Kalurahan Sardonoharjo menjadi solusi dalam menangani permasalahan sampah dengan pendekatan berbasis masyarakat. Melalui sistem pemilahan, daur ulang, dan pengolahan sampah organik menjadi kompos, TPST ini tidak hanya menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi bagi warga sekitar.

TPST Randu Alas berdiri atas kisah yaitu dulu TPST ini adalah tempat pembuangan sampah, karena bapak Sujono dan tim selaku masyarakat sekitar sini melihat beberapa daerah membuang sampah ke tempat ini dan tempat ini menjadi tidak terkelola yang menjadikan lingkungan kotor dan buruk akhirnya beliau memutuskan untuk mengelola tempat ini menjadi TPST. Setelah itu bapak Sujono dan tim mengajukan proposal kepada DLH atau Dinas Lingkungan Hidup untuk diberikan fasilitas untuk pengolahan sampah.


“Setelah DLH mempercai kami dan proposal sudah di ACC akhirnya pada tahun 2015 TPST sudah dibangun dan selesai pembangunan yaitu bulan Februari 2016. Kami mencari pelanggan yang mau dan bersedia untuk bekerjasama dengan kami atau berlangganan dengan kami waktu itu terkumpul sekitar 20-20 orang. Sampah yang sudah terkumpul kita pilah dan kita pilih untuk dijual, nantinya akan ada petugas yang mengambil sampah yaitu 2 Minggu sekali lalu kita jual sampah yang sekiranya laku dan uangnya kami masukkan ke kas RT.”kata bapak Sujono selaku wakil ketua TPST Randu Alas.

Para petugas pengelola sampah seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat, namun keberadaan mereka memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari kita. Mereka adalah orang-orang yang berada di garis depan dalam menjaga kebersihan lingkungan, mengendalikan sampah, dan mencegah timbulnya berbagai masalah kesehatan serta lingkungan. Di balik profesi yang sering dianggap sepele ini, banyak petugas yang menemukan kebermaknaan hidup dari pekerjaan mereka. Berikut adalah beberapa aspek yang membuat pekerjaan mereka penuh makna dan menginspirasi.

Pengelola TPST Bapak Sujono, menekankan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah bergantung pada kesadaran masyarakat dalam memilah sampah sejak dari rumah. “Kami terus mengedukasi warga tentang pentingnya memilah sampah. Sampah organik dapat diolah menjadi pupuk kompos, sementara sampah anorganik seperti plastik dan kertas bisa didaur ulang atau dijual kembali,”

Dengan meningkatnya partisipasi warga dalam memilah dan mengelola sampah, TPS3R Randu Alas diharapkan dapat menjadi model pengelolaan sampah yang berkelanjutan bagi Kalurahan Sardonoharjo dan daerah sekitarnya.

Top of Form

Bottom of Form

 



Senin, 24 November 2025

Psikologi Lingkungan Esai 7 Kunjungan ke TPST Randu Alas

 

Belajar Praktik Pengelolaan Sampah: Pengalaman Kunjungan TPST Randu Alas

Oleh : Iqbal Fahri Alfarisyi | 24310410012 | SPSJ

Dosen Pembimbing : Dr. Shinta Arundita




Yogyakarta sedang krisis sampah, pada tahun 2023, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan ditutup karena kapasitasnya telah mencapai batas maksimum. Penutupan ini menyebabkan terhentinya alur pembuangan sampah dari berbagai wilayah, sehingga memicu masyarakat membuang sampah secara sembarangan di lingkungan sekitar, pinggir jalan, hingga pinggir pantai dan kawasan sungai.  



Pada Sabtu, 18 Oktober 2025, mahasiswa psikologi kelas reguler dan kelas karyawan Universitas Proklamasi 45 melakukan kunjungan ke TPST Randu Alas. Hasil dari kunjungan tersebut mendapatkan wawasan dan pengetahuan yang berharga seputar pengelolaan sampah.

Keresahan beberapa masyarakat meningkat hingga pada akhirnya memunculkan solusi dengan membangun TPST Randu Alas. Ada beberapa protokol yang harus dipatuhi oleh warga agar sampahnya diterima di antaranya, sampah botol beling, botol plastik, sisa makanan, kardus-kardus, dan kertas-kertas harus dipisah. Konsep yang diterapkan tersebut sangat terstruktur dengan memilah sampah organik dan anorganik. Sampah-sampah botol akan dikumpulkan sesuai dengan merek, kemudian akan dikembalikan ke perusahaan produksi air tersebut. Sampah sisa-sisa makanan yang  diterima di TPST memiliki aturan, yaitu tidak mudah membusuk atau masih belum diserang Belatung, kemudian akan dijual ke para peternak ikan, ayam, dan bebek.

TPST Randu Alas sebelum mengalami over load masih memiliki sistem yang sangat memadai. Sebelumnya, memiliki kolam lele, magot, pembuatan pupuk organis, bahkan pembuatan ecoenzym.  Sangat disayangkannya banyak warga yang tidak mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan, bahkan ditegur pun tidak ada kesadaran. Akhirnya para pekerja TPST Randu Alas memutuskan untuk tetap menerimanya namun beberapa konsep dihilangkan atau dialihkan.

Kesimpulannya, bahwa jika belum bisa bertanggung jawab dengan sampah kita sendiri maka jangan mengonsumsi makanan atau barang yang menimbulkan penumpukan sampah. Hal ini, agar membangun kesadaran diri, yang mana jika tidak dapat mengelola sampah dari hasil barang atau makanan yang dikonsumsi maka jangan membelinya, sampai bisa mengelolanya. 



Selasa, 18 November 2025

Esai 7 Belajar di TPS 3R Randu Alas Psikologi Lingkungan Jessica Maria Kelas A


Esai 7 Psikologi Lingkungan belajar di TPS 3R Randu Alas

Dosen Pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta M.A.

Jessica Maria 243210420063

Yogyakarta November 2025






Sampah menjadi salah satu masalah besar dan mengganggu hampir di setiap wilayah, termasuk di Candi Karang, Sardonoharjo. Masalah sampah dan pengolahannya terjadi karena ulah kita sendiri. Banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran kalau sampah pribadi adalah tanggung jawabnya. Kurangnya kesadaran tersebut memicu masalah, seperti tumpukan sampah yang menimbulkan bau. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran masyarakat terkait sampah dan fasilitas yang memadai untuk mengolah sampah. 

Adanya TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) membantu meningkatkan kesadaran masyarakat serta mengolah sampah. Pada 18 Oktober 2025 saya dan mahasiswa kelas psikologi lingkungan berkesempatan mengunjungi TPS 3R Randu alas untuk belajar tentang pengolahan sampah. TPS ini terletak di Candi Karang, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Kami dibimbing oleh pak Tujuno yang menjelaskan tentang proses terbentuknya TPS ini dan apa saja kegiatan pengolahan sampah yang ada. TPS Randu Alas dimulai pada tahun 2015, sebelum menjadi TPS seperti sekarang, dulunya tempat ini adalah bank sampah. Peralihan menjadi TPS disebabkan karena tidak semua sampah dapat dikelola oleh bank sampah. Jadi, mereka mengajukan membuat TPS, dengan salah satu syarat meminta tanda tangan ke 100 kepala keluarga di lingkungan sekitar TPS ini. Tanah yang digunakan untuk menjadi TPS berasal dari tanah kas. 

Pengolahan sampah di TPS Randu Alas, dimulai dari pengambilan sampah dengan kendaraan motor roda tiga yang memiliki bak di belakang. Pengambilan sampah dilakukan setiap dua kali seminggu, sebelum muncul set. Kemudian, sampah dipisahkan antara organik dan anorganik. Sampah anorganik di pilah, dibersihkan, dan dicacah menggunakan mesin. Ada juga sampah yang dibakar, tetapi Pak Tujuno mengatakan, mereka terpaksa membakarnya karena belum menemukan teknologi lain. Asap dari pembakaran itu juga belum dapat diatasi. Lalu, ada rencana untuk memanfaatkan abu sisa pembakaran menjadi bahan baku batako. Abunya dikumpulkan di bagian belakang TPS. Selain itu, sampah organik dikelola menjadi biogas pupuk atau pupuk cair. Mereka juga membuat MOL (Mikroorganisme Lokal) untuk proses fermentasi sampah organik menjadi kompos. Terdapat juga pembuatan eco lindi dari sisa kulit buah, yang berfungsi untuk mengurangi bau sampah. Cuaca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengolahan sampah, walaupun tidak selalu. Cuaca hujan akan mempercepat timbulnya bau kalau sampah lupa ditutup. Sebaliknya, musim kemarau memperlambat timbulnya bau. 


MOL yang dibuat di TPS 3R Randu Alas



Berjalannya pengelolaan sampah di TPS Randu Alas, bukan tanpa kendala dan tantangan. Pak Tujuno menjelaskan tantangan terbesar dalam pengolahan sampah adalah mengedukasi warga. Selain itu, pengolahan butuh biaya operasional jadi pelanggan di TPS ini harus membayar. Bayaran berupa iuran dari pelanggan, digunakan untuk biaya operasional dan menggaji pengurus TPS. Pelanggannya berasal dari rumah tangga, rumah tangga usaha, dan usaha. TPS ini juga kekurangan pengurus, sulit mencari tenaga kerja. Jadi saat ini hanya ada tujuh pengurus, bahkan salah satu dari mereka berasal dari Wonosari. Tantangan lain yang dihadapi pengurus yaitu keselamatan kerja, karena menggunakan mesin yang cukup berbahaya maka ada resiko untuk terluka. Salah satu pengurus terluka karena mesin tersebut, untungnya sudah diobati dan biaya pengobatan ditanggung BPJS. Pengurus TPS lain juga sudah memiliki BPJS, jadi biaya pengobatan akan ditanggung BPJS. 

Pembelajaran ini menyadarkan saya kalau sampah dapat diolah menjadi hal lain yang bermanfaat dan tanggung jawab terkait sampah harus dimulai dari sampah pribadi.


Rabu, 12 November 2025

ESAI KE 4 komitmen kita terhadap sampah

                    Esai 4 — komitmen  

                    Psikologi Lingkungan

                    Nama : Chitra Amanda Kasim 

                    Nim: 24310410036

                    Kelas Reguler (A)

    Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta M. A.


Bicara soal kebersihan lingkungan, sering kali kita berpikir harus melakukan sesuatu yang besar agar terlihat berdampak. Padahal, komitmen menjaga kebersihan bisa dimulai dari hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Saya sendiri mulai sadar hal itu sejak sering melihat sampah berserakan di sekitar tempat tinggal. Awalnya saya hanya mengeluh, tapi lama-lama saya merasa tidak cukup kalau hanya diam. Dari situ, saya mulai berkomitmen untuk melakukan perubahan kecil

Hal sederhana yang saya lakukan misalnya selalu membawa botol minum sendiri agar tidak membeli air kemasan, membawa tas kain saat belanja, dan membuang sampah sesuai jenisnya. Sekilas memang terlihat sepele, tapi kalau dilakukan terus-menerus, kebiasaan itu jadi bentuk nyata dari kepedulian terhadap lingkungan. Kadang, saat melihat orang lain sembarangan buang sampah, saya mencoba mengingatkan dengan cara sopan. Tidak mudah memang, tapi saya percaya perubahan itu berawal dari contoh kecil.

Saya juga mulai membiasakan diri memungut sampah di sekitar  kosan saya , meski bukan sampah saya sendiri. Setiap kali melakukannya, ada rasa puas tersendiri. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena tahu saya ikut menjaga tempat yang saya tinggali. Bagi saya, komitmen untuk menjaga kebersihan bukan cuma soal tindakan, tapi juga kesadaran. Kalau setiap orang mau mulai dari diri sendiri—dari hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan atau mengurangi penggunaan plastik—maka lingkungan kita akan jauh lebih nyaman dan sehat. Tidak perlu menunggu orang lain duluan. Cukup mulai dari langkah kecil, tapi dilakukan dengan hati dan konsisten. Karena perubahan besar selalu berawal dari niat sederhana.




https://youtube.com/shorts/fzINyH1_XVg?si=HW3IAxSDYZdw1xQd


ESAI KE 2 Plogging Sore Hari di Sekitar Kompleks

                   Esai 2 — Plogging

                   Psikologi Lingkungan

                   Nama : Chitra Amanda Kasim 

                   Nim: 24310410036

                   Kelas Reguler (A)

    Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta M. A.


 udara  di sore sekarang ini terasa sejuk dan langit mulai berwarna jingga. Setelah seharian di kos , saya memutuskan untuk keluar sebentar sambil berolahraga ringan. Kali ini saya mencoba plogging, yaitu jogging sambil memungut sampah di sekitar kompleks tempat saya tinggal. Sebelum mulai, saya memperhatikan jalan di depan kos  saya  cukup kotor. Ada bayak daun yang sudah layu dan , botol plastik, dan puntung rokok berserakan di depan pagar . Padahal biasanya ini sebenarnya bersih dan asri. Mungkin karena musim hujan juga segingga samapahnya berserakan. Melihat itu, saya mulai memebersihkan dengan sapu lidi dan mulai mengumpulkan sampah untuk menjadi rapih.

.


Awalnya agak canggung, apalagi beberapa orang yang lewat  sempat memperhatikan. Tapi lama-lama saya terbiasa. Bahkan, ada kaka² yng menjaga salonnya yng di samping  di  bilang, “Wah, bagus nih, jarang  banget ada anak kost yang bersihkan sampah di sini .” Saya tersenyum sambil terus sapu. Setelah  sapu menjadi besih saya  lanjut untuk jogging  lagi hampir satu jam berkeliling, kembali dan istirahat  di depan jalan sebentar sambil melihat sekitar. Jalan di depan pagar  yang tadinya kotor kini tampak lebih bersih dan enak dipandang. Di saat itu, saya benar-benar sadar betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Lingkungan yang bersih bukan hanya enak dilihat, tapi juga bikin udara lebih segar dan suasana hati jadi tenang. 
Bagi saya, kebersihan itu cermin dari kesadaran dan kepedulian kita. Mulai dari langkah kecil seperti plogging saja sudah bisa membawa perubahan. Selain membuat tubuh sehat, kegiatan ini juga menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap tempat kita tinggal. Karena kalau bukan kita yang menjaga kebersihan lingkungan, siapa lagi?. 





Selasa, 11 November 2025

UTS PSI LINGKUNGAN MUHAMMAD HAFIDZ JALLALUDDIN ANTARAPUTERA

https://docs.google.com/document/d/1bxFaI-hWJArlXNO_lKDkttDN4sDo_hXW/edit?usp=sharing&ouid=106003821665008731891&rtpof=true&sd=true Nama Muhammad Hafidz Jalaluddin Antaraputra Nim 24310410003 UTS PSIKOLOG LINGKUNGAN Fenomena perbedaan cara memandang perumahan antara mahasiswa dan penghuni di Amerika Selatan bisa dijelaskan dengan teori persepsi lingkungan yang dipelopori Paul A. Bell dan timnya pada tahun 2001. Dalam mata kuliah Psikologi Lingkungan, foto perumahan tersebut membuat reaksi yang sama dari para mahasiswa, yaitu merasa lingkungan itu kumuh, tidak nyaman, dan tidak layak huni. Mayoritas mahasiswa menyatakan tidak mau tinggal di sana kecuali dalam situasi yang memaksa. Bahkan jika harus tinggal, mereka berencana membersihkan, mengecat ulang, dan memperbaikinya. Namun fakta bahwa perumahan itu masih dihuni menunjukkan bahwa penghuni memiliki cara memandang lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini bisa dijelaskan melalui skema persepsi lingkungan menurut Bell dan rekan-rekannya. Menurut Bell dkk. (2001), cara seseorang memandang lingkungan adalah hasil dari proses aktif tubuh dalam menerima, memilih, mengatur, dan memahami rangsangan dari lingkungan fisik. Proses ini bukan semata-mata pasif, melainkan dipengaruhi oleh faktor internal seperti kebutuhan, nilai, motivasi, dan pengalaman, serta faktor eksternal seperti situasi sosial, ekonomi, dan budaya. Sarwono (1995) juga mengatakan bahwa cara seseorang memandang lingkungan sangat tergantung pada makna yang ia berikan terhadap rangsangan tersebut. Jadi, dua orang yang menghadapi lingkungan atau objek yang sama bisa memiliki perasaan yang berbeda karena perbedaan dalam faktor pembentuk makna itu. Tahap pertama dalam skema persepsi adalah menerima rangsangan lingkungan. Dalam kasus ini, rangsangan yang diterima adalah kondisi fisik perumahan yang tampak padat, kusam, dan tidak rapi. Bagi mahasiswa, penampilan tersebut secara visual membuat kesan buruk, karena tidak sesuai dengan standar estetika dan kenyamanan tempat tinggal yang mereka kenal. Namun bagi penghuni, rangsangan yang sama mungkin tidak memunculkan kesan negatif. Mereka bisa memandang lingkungan itu sebagai tempat yang memiliki nilai fungsional, seperti lokasi strategis, biaya sewa yang lebih murah, atau dekat dengan tempat bekerja dan fasilitas umum. Dengan demikian, rangsangan fisik yang sama bisa menghasilkan makna yang berbeda bagi kelompok yang berbeda. Tahap berikutnya adalah proses perhatian selektif. Di tahap ini, seseorang hanya memperhatikan hal-hal tertentu di sekitarnya yang dianggap penting untuk kebutuhan mereka. Mahasiswa cenderung lebih memperhatikan tampilan dan kondisi lingkungan, sedangkan warga lebih memperhatikan kemudahan akses dan hubungan dengan tetangga. Perbedaan ini memengaruhi cara orang mengelompokkan dan memahami stimulus di sekitarnya. Selanjutnya, pada tahap organisasi dan interpretasi, seseorang memberi arti pada apa yang dilihat berdasarkan pengalaman hidup, kebutuhan, dan nilai-nilai sosial yang dianut. Mahasiswa, karena pendidikan dan gaya hidup yang lebih tinggi, cenderung menganggap lingkungan tersebut sebagai tempat yang kumuh dan tidak nyaman. Sementara itu, warga perumahan memandang lingkungan yang sama sebagai tempat tinggal yang layak karena memenuhi kebutuhan dasar dan memberi rasa memiliki dengan tetangga. Di sini, interpretasi dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi: bagi orang yang berpenghasilan rendah, rumah sederhana namun terjangkau bisa dianggap ideal, sedangkan bagi orang dengan standar hidup yang lebih tinggi, kondisi fisik menjadi penentu utama kenyamanan. Tahap terakhir dalam proses memahami lingkungan adalah pembentukan persepsi dan perilaku. Interpretasi yang berbeda menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Mahasiswa memiliki persepsi negatif terhadap lingkungan tersebut, sehingga menolak tinggal di sana atau hanya bersedia tinggal jika lingkungan diperbaiki. Berbeda dengan warga perumahan yang memiliki persepsi positif dan adaptif karena menilai lingkungan sesuai dengan kebutuhan mereka. Persepsi positif ini mendorong mereka untuk tetap tinggal, beradaptasi, bahkan membangun hubungan sosial yang harmonis. Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa keputusan seseorang untuk tinggal atau tidak di suatu lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik, tetapi lebih tergantung pada makna yang dibentuk melalui proses persepsi. Proses ini melibatkan interaksi antara faktor individu, sosial, dan situasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Bell dkk. (2001), serta didukung oleh Sarwono (1995) dan Patimah et al. (2024), yang menekankan bahwa persepsi menjadi dasar dalam membentuk keputusan dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Dengan demikian, lingkungan yang terlihat kumuh bagi sebagian orang bisa dianggap nyaman dan layak oleh orang lain, karena persepsi manusia selalu dipengaruhi oleh konteks psikologis dan sosial di sekitarnya. Daftar Pustaka Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology (5th ed.). Fort Worth, TX: Harcourt College Publishers. Patimah, S., Hidayat, R., & Nuraini, F. (2024). Psikologi lingkungan: Teori dan aplikasi dalam konteks sosial modern. Bandung: Penerbit Psymedia. Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

UTS PSI LINGKUNGAN WASKITA ILHAM PRABOWO

https://docs.google.com/document/d/1BALj8D2LJrn0_IQckXX4YgLnubmVmL_VVEaOHWVWopg/edit NAMA : WASKITA ILHAM PRABOWO NIM : 24310410032 JURUSAN : PSIKOLOGI KELAS : KARYAWAN JAWABAN Pokok Permasalahan dari kasus yang ada di foto tersebut yaitu,Dalam konteks psikologi lingkungan, foto perumahan di Amerika Selatan yang digambarkan sebagai kumuh menimbulkan pertanyaan penting: mengapa masih ada orang yang bersedia tinggal di lingkungan tersebut? Mahasiswa dalam perkuliahan sepakat bahwa mereka tidak akan memilih tinggal di sana kecuali terpaksa, bahkan jika harus tinggal, mereka berencana memperbaiki kondisi fisik rumah. Namun, kenyataannya terdapat penghuni yang tetap bertahan. Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell dan kawan-kawan (Bell et al., 2001; Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995). Persepsi menjadi kunci karena ia membentuk dasar keputusan individu dan akhirnya memengaruhi perilaku. Analisis dengan Skema Persepsi Bell Menurut Bell, persepsi lingkungan terbentuk melalui proses stimulus, organisasi, dan interpretasi. Ketiga tahap ini menjelaskan bagaimana individu memaknai lingkungannya, sehingga meskipun bagi sebagian orang perumahan itu tampak tidak layak, bagi penghuni tetap ada alasan untuk bertahan. Stimulus Lingkungan Stimulus yang diterima mahasiswa adalah kondisi fisik perumahan yang terlihat kumuh. Cat mengelupas, bangunan tidak terawat, dan lingkungan padat. Namun, bagi penghuni, stimulus yang dominan mungkin berbeda. Mereka lebih menekankan pada aspek aksesibilitas (dekat dengan tempat kerja, pasar, atau transportasi), biaya rendah, serta kedekatan sosial dengan komunitas. Stimulus yang dianggap negatif oleh mahasiswa bisa ditafsirkan sebagai hal yang netral atau bahkan positif oleh penghuni. Organisasi Persepsi Mahasiswa mengorganisasi informasi dengan menekankan aspek estetika dan kenyamanan fisik. Hal ini membuat mereka menilai lingkungan tersebut tidak layak huni. Sebaliknya, penghuni mengorganisasi informasi berdasarkan prioritas kebutuhan hidup. Faktor ekonomi, keterjangkauan harga sewa, dan jaringan sosial lebih diutamakan dibandingkan penampilan fisik. Organisasi persepsi ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kerangka acuan berbeda sesuai latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi. Interpretasi mahasiswa yautu perumahan yang kumuh sama dengan tidak layak huni, menimbulkan rasa tidak nyaman, bahkan memalukan. Interpretasi penghuni: perumahan kumuh sama dengan tempat tinggal yang masih memenuhi fungsi dasar (tempat berlindung, ruang keluarga, dan komunitas). Interpretasi ini dipengaruhi oleh pengalaman, nilai, dan harapan. Bagi mereka yang terbiasa hidup dalam keterbatasan, kondisi tersebut tidak selalu dianggap buruk, melainkan bagian dari realitas yang harus dijalani. Faktor Sosial dan Psikologis Selain skema persepsi, ada faktor sosial-psikologis yang memperkuat keputusan penghuni untuk tinggal: Ikatan Komunitas: Lingkungan kumuh sering kali memiliki solidaritas tinggi. Kehidupan bertetangga yang saling membantu menciptakan rasa aman sosial. Keterjangkauan Ekonomi: Biaya hidup yang rendah menjadi alasan utama bertahan. Bagi keluarga berpenghasilan minim, pilihan lain mungkin tidak tersedia. Adaptasi Psikologis: Individu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Ketidaknyamanan fisik bisa ditoleransi jika kebutuhan sosial dan ekonomi terpenuhi. Harapan Perbaikan: Beberapa penghuni mungkin melihat peluang untuk memperbaiki rumah sedikit demi sedikit, sehingga tetap ada motivasi untuk bertahan. Permasalahan Utama yang muncul adalah adanya perbedaan persepsi antara mahasiswa (pengamat eksternal) dan penghuni (pelaku internal). Mahasiswa menilai berdasarkan standar estetika dan kenyamanan, sedangkan penghuni menilai berdasarkan kebutuhan dasar dan realitas hidup. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi objektif, tetapi juga oleh latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman individu. Dengan demikian, alasan orang bersedia tinggal di perumahan kumuh bukan semata karena tidak ada pilihan lain, tetapi karena persepsi mereka terhadap lingkungan tersebut berbeda. Persepsi ini membentuk keputusan untuk bertahan, yang akhirnya menjadi perilaku nyata. Kesimpulan Menggunakan skema persepsi Bell, kita dapat memahami bahwa stimulus, organisasi, dan interpretasi lingkungan berbeda antara mahasiswa dan penghuni. Mahasiswa melihat kumuh sebagai masalah, sementara penghuni melihatnya sebagai solusi praktis atas keterbatasan ekonomi dan sosial. Persepsi inilah yang menjadi dasar keputusan untuk tinggal, meskipun kondisi fisik tidak ideal. Dengan memahami perbedaan persepsi, kita dapat lebih bijak menilai fenomena perumahan kumuh dan menyadari bahwa perilaku manusia selalu berakar pada cara mereka memaknai lingkungannya. Daftar Pustaka Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology. Fort Worth: Harcourt College Publishers. Patimah, S., dkk. (2024). Psikologi Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta. Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jaka

Membersihkan Pekarangan Rumah

Esai ke-3 Before-After

Mutiara Ramadani Putri

24310410061

Psikologi Reguler

Dr., Dra. Arundati Shinta M.A.

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta



Kegiatan before-after ini dilakukan untuk membersihkan tempat atau fasilitas umum. Hari selasa 11 November 2025 saya melakukan kegiatan before-after di pekarangan belakang rumah bude saya, belakang rumah tersebut terdapat beberapa pepohonan seperti pohon nangka, pisang, dan pohon pring. Beberapa hari lalu pekarangan tersebut di guyur hujan deras dan angin kencang sehingga pekarangan tersebut sangat kotor, lembab, dan tidak nyaman dilihat. Serangga seperti nyamuk dan semut sering muncul karena kondisi yang lembab dan penuh sampah. Saya membersihkan pekarangan rumah bude saya sekitar pukul 15.30 WIB dan selesai sekitar pukul 16.30 WIB. Saya langsung menyapu pekarangan rumah dan mengumpulkan sampah organik seperti daun dan ranting. Kegiatan ini cukup melelahkan tetapi hasilnya sangat memuaskan. 

Setelah di bersihkan pekarangan belakang rumah bude saya tampak jauh lebih bersih dan teratur, udara terasa lebih segar, dan tidak lagi ada tumpukan sampah yang menganggu pandangan. Perubahan ini menunjukkan bahwa dengan sedikit usaha dan kepedulian, lingkungan sekitar bisa menjadi lebih bersih dan enak di pandang. Dengan melakukan kegiatan ini membantu kita melihat secara nyata adanya perubahan positif yang terjadi setelah melakukan tindakan. Kegiatan ini juga dapat membantu mengurangi risiko penyakit. Mari mulai membersihkan lingkungan sekitar kita dan menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman.


Before


After




UTS Psikologi Lingkungan


Mutiara Ramadani Putri 

24310410061

Psikologi Lingkungan

Dr., Dra. Arundati Shinta M.A. 



Perumahan yang kumuh seperti di foto, sebagian mahasiswa termasuk saya mungkin tidak mau tinggal di perumahan tersebut karena menurut saya perumahan tersebut merupakan perumahan yang kumuh yang tidak layak untuk di tempati. Tetapi jika saya harus tinggal di perumahan tersebut dalam kondisi yang mendesak saya mungkin akan tinggal di perumahan tersebut tetapi saya akan merenovasi seperti mengecet ulang, membersihkan tembok yang lumutan. Saya akan membuat tempat itu senyaman mungkin untuk saya tempati. Skema persepsi menurut Paull A. Bell individu dibagi menjadi 2 dalam batas optimal dan diluar batas optimal. Batas optimal yaitu dimana individu bisa persepsikan apa yang ia liat dengan apa yang pernah ia alami. Dia mungkin pernah tinggal di tempat yang kumuh sehingga ketika ia harus tinggal ditempat yang kumuh ia akan merasa nyaman. Diluar batas optimal yaitu apabila situasi baru yang dihadapi individu ternyata sangat berbeda dengan situasi-situasi yang pernah dialaminya, misal orang tersebut belum pernah tinggal di lingkungan yang kumuh dan ia harus tinggal disitu itu akan membuatnya stres sehingga ia berusaha mengatasi stres tersebut (coping behavior), ketika orang tersebut sukses menghadapi stres maka ia telah melakukan adaptasi (penyesuaian diri, mengubah diri agar sesuai dengan dirinya) Contoh perilaku adaptasi ia merenovasi tempat tersebut sesuai dengan dirinya. Apabila pengalaman berhasil mengatasi stres ini terjadi berulang-ulang, maka toleransi individu terhadap kegagalan menjadi rendah. Namun apabila gejala individu mengatasi stres mengubah lingkungan tersebut seperti apa yang ia inginkan ternyata gagal dan bila kegagalan itu berulang kali terjadi, maka kondisi tersebut merupakan kondisi individu menyakinkan dirinya bahwa ia memang tidak mampu atau tidak berdaya.


Patimah A.S., Shinta, A. & Amin Al -Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi. 20(1), Maret 23-29


 

UTS Psikologi Lingkungan SPSJ ( Amandha Riesma Azzahra

 Nama : Amandha Riesma Azzahra

Kelas : Karyawan 

Nim : 24310410046

Nama Dosen : Arundati Shinta

Hari / Tanggal : Selasa 11 November 2025 Pukul 18.00-23.00 WIB


Persepsi manusia terhadap lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik yang tampak, tetapi juga oleh makna yang diberikan individu terhadap tempat tersebut. Dalam konteks psikologi lingkungan, persepsi menjadi faktor penting yang memengaruhi bagaimana seseorang mengambil keputusan dan berperilaku terhadap lingkungannya. Paul A. Bell dan kawan-kawan (2001) menjelaskan bahwa persepsi lingkungan terbentuk melalui interaksi antara stimulus dari lingkungan, karakteristik individu yang mempersepsinya, dan respon yang dihasilkan dari proses tersebut. Dengan kata lain, persepsi merupakan hasil proses kognitif di mana seseorang menyeleksi, mengorganisasi, dan menafsirkan stimulus lingkungan sesuai dengan pengalaman, nilai, dan kebutuhannya. Karena itulah, dua individu dapat melihat lingkungan yang sama, tetapi menghasilkan penilaian yang sangat berbeda.

Pada kasus foto perumahan di Amerika Selatan yang ditunjukkan, kawasan itu tampak kumuh, tidak terawat, dan tidak layak huni. Mereka menilai bahwa hanya jika terpaksa barulah mereka bersedia tinggal di sana, bahkan dengan rencana untuk membersihkan, mengecat ulang, dan memperbaikinya. Namun, pada kenyataannya, ada banyak orang yang benar-benar tinggal di kawasan tersebut dan merasa nyaman hidup di sana. Perbedaan pandangan ini tidak hanya disebabkan oleh kondisi fisik permukiman, melainkan oleh cara masing-masing pihak mempersepsinya. 

Lingkungan tersebut memberikan stimulus visual yang menimbulkan kesan negatif yaiyu bangunan rapat, cat mengelupas, jalan sempit, dan fasilitas umum yang terbatas. Akan tetapi, bagi penghuni aslinya, stimulus yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda karena mereka menilai tempat itu berdasarkan fungsi dan nilai sosialnya, bukan sekadar dari tampilan fisiknya.

Menurut skema persepsi Bell dkk. (2001), faktor yang membedakan kedua kelompok ini terletak pada komponen “organisme,” yakni karakteristik individu yang mempersepsi lingkungan. Mahasiswa berasal dari latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas, terbiasa dengan lingkungan yang bersih dan teratur, serta memiliki standar kenyamanan yang tinggi. Oleh karena itu, mereka cenderung menilai bahwa lingkungan yang tidak memenuhi standar estetika tersebut tidak layak ditinggali. Sementara itu, penghuni permukiman kemungkinan besar berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah dengan kebutuhan dasar yang masih menjadi prioritas, seperti tempat berlindung, keamanan, serta kedekatan dengan sumber pekerjaan dan keluarga. Dalam pandangan mereka, rumah bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga simbol rasa aman dan identitas sosial. Mereka memandang kawasan tersebut sebagai lingkungan yang hidup, ramah, dan penuh interaksi sosial, bukan sekadar tempat tinggal yang kumuh.

Individu yang tumbuh dalam kondisi sederhana akan memiliki toleransi yang lebih besar terhadap keterbatasan fisik suatu tempat dibandingkan dengan individu yang terbiasa hidup dalam kenyamanan. Selain itu, penghuni kawasan tersebut juga mengalami apa yang disebut Bell dkk. (2001) sebagai adaptasi perseptual, yaitu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sehingga faktor-faktor negatif yang awalnya dirasakan menjadi berkurang atau bahkan tidak lagi dianggap sebagai masalah. Lingkungan yang dianggap kumuh oleh orang luar bisa saja dirasakan hangat dan penuh makna oleh mereka yang tinggal di sana, karena di dalamnya terdapat jaringan sosial yang kuat, nilai kebersamaan, dan dukungan emosional antarwarga.

Ketika seseorang mempersepsikan suatu tempat sebagai aman, nyaman, dan memiliki nilai sosial, maka keputusan untuk menetap menjadi pilihan yang logis. Sebaliknya, ketika lingkungan dipersepsikan negatif, perilaku yang muncul adalah menghindari atau meninggalkan tempat tersebut. Dengan demikian, keputusan penghuni untuk tetap tinggal di permukiman yang dianggap kumuh bukan berarti mereka tidak peduli pada kondisi fisik, melainkan karena mereka memberi makna positif terhadap lingkungan itu berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut. Bagi mereka, kenyamanan tidak semata diukur dari kebersihan atau keindahan visual, tetapi dari rasa memiliki, kedekatan sosial, dan stabilitas hidup yang ditawarkan lingkungan tersebut.

dapat disimpulkan bahwa penghuni perumahan di Amerika Selatan muncul karena perbedaan latar belakang individu yang mempersepsi. Stimulus lingkungan yang sama menghasilkan persepsi yang berbeda karena diproses melalui pengalaman, nilai, dan kebutuhan yang berbeda pula. Bagi penghuni, lingkungan tersebut bukanlah simbol kekumuhan, melainkan ruang kehidupan yang memiliki makna sosial dan emosional yang kuat. Oleh sebab itu, persepsi yang terbentuk menjadi dasar keputusan mereka untuk tinggal dan beradaptasi di sana. Dengan memahami hal ini, kita dapat melihat bahwa persepsi terhadap lingkungan selalu bersifat subjektif, terbentuk dari interaksi antara manusia dan tempat yang ia huni.


Daftar Pustaka

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology (5th ed.). Fort Worth: Harcourt College Publishers.

Patimah, S., Nurzaman, M., & Rahmawati, L. (2024). Psikologi Lingkungan: Teori dan Aplikasi dalam Konteks Sosial-Budaya Indonesia. Bandung: UPI Press.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.

Komitmen Kecil yang Tidak Kalah Penting



 Essai ke-4 Komitmen Terhadap Sampah


Essai ke-4 Psikologi Lingkungan
Ratu Sabinawangi Nauli Harahap
NIM 24310410204
Kelas A
Dosen Pengampu: Arundati Shinta
Fakultas Psikologi 
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta 




Komitmen terhadap sampah, bagiku, bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Ia tumbuh pelan-pelan dari rasa tidak nyaman melihat sampah yang menumpuk, dari pemandangan plastik yang berserakan di tempat yang seharusnya tenang, sampai dari kesadaran bahwa aku juga ikut menyumbang masalah itu setiap hari. Aku mulai bertanya pada diri sendiri: “Apa yang bisa aku lakukan tanpa harus menunggu orang lain dulu?”

Jawabannya ternyata sederhana: mengubah kebiasaan kecil.

Sekarang aku terbiasa membawa botol minum sendiri. Dulu aku sering membeli minuman kemasan sekali pakai karena praktis. Tapi aku sadar, praktis untukku berarti tambahan sampah untuk tempat lain. Dengan membawa botol sendiri, aku merasa sedang mengurangi satu keputusan kecil yang berdampak panjang. Rasanya juga nyaman, seperti aku sedang merawat diriku sendiri dan lingkunganku dalam satu gerakan yang sama.

Aku juga mulai membawa tas belanja. Tas kain yang lentur itu sekarang selalu aku lipat dan simpan di tas. Dulu aku kira membawa tas belanja itu ribet, tapi sebenarnya justru bikin hidup lebih ringan. Aku tidak perlu lagi menerima plastik tambahan setiap beli sesuatu. Ada rasa puas kecil setiap aku bilang, “Nggak usah plastik, aku bawa tas sendiri.”

Selain itu, aku menggunakan wadah makanan yang bisa dicuci ulang. Awalnya agak kikuk saat pertama kali bilang ke penjual, “Bu, ini pakai wadah saya ya.” Tapi lama-kelamaan biasa, malah jadi terlihat wajar. Wadah itu aku bawa pulang, aku cuci, lalu kupakai lagi. Tidak ada sampah sisa bungkusan yang harus aku lempar, dan aku senang karenanya.

Kebiasaan-kebiasaan ini mungkin terlihat sepele. Tidak membuat dunia tiba-tiba bersih. Tidak membuat bumi langsung sembuh. Tapi aku percaya, komitmen bukan tentang hasil besar yang instan. Komitmen adalah tentang konsistensi kecil yang dibawa setiap hari. Tentang memilih peduli meskipun tidak ada yang menyuruh.

Dan dari kebiasaan kecil itu, aku belajar satu hal:
merawat lingkungan dimulai dari merawat pilihan-pilihan kita sendiri.🌿https://youtube.com/shorts/UBecHbpQlo4? si=FhJdayY32mNVBHQq







UTS Psikologi Lingkungan: Persepsi Membentuk Keputusan dan Perilaku

UTS Psikologi Lingkungan: Persepsi Membentuk Keputusan dan Perilaku

 

Esai UTS Psikologi Lingkungan
Dosen Pengampu Dr. Arundati Shinta, M. A
Andarini Sulistiawati
NIM. 24310410201
Kelas A
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta 


Ilustrasi foto di atas merupakan gambaran pada tempat tinggal di suatu daerah di Amerika Selatan. Dari foto tersebut tampak kotor, kumuh, dan tidak nyaman. Namun, satu hal yang mengherankan masih ada warga yang bersedia tinggal di tempat seperti itu.

Keputusan seseorang untuk tetap tinggal di lingkungan yang kotor, kumuh, dan tidak nyaman dapat dipahami melalui teori persepsi dan sikap dalam psikologi lingkungan. Menurut Bell et al. (2001), persepsi lingkungan adalah proses kognitif dan afektif di mana individu secara aktif mengolah informasi dari lingkungan fisik sekitar. Persepsi ini meliputi komponen kognitif (apa yang dapat dilakukan di lingkungan tersebut), afektif (perasaan terhadap lingkungan), interpretasi, dan evaluasi nilai lingkungan berdasarkan pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini.

Hipotesis dari saya, pada awal mereka datang melihat lingkungan itu mungkin saja mereka merasa tidak nyaman tinggal di tempat tersebut. Namun, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan mereka untuk mencari tempat baru lagi mengharuskan mereka untuk tetap tinggal. Kemudian mereka berfikir apa yang bisa dilakukan terhadap tempat itu, agar bisa sesuai dengan mereka. Tempat itu bisa saja mengingatkan mereka kepada pengalaman – pengalaman masa lampau yang menyenangkan, sehingga mereka memutuskan untuk tetap tinggal.

Kembali kepada persepsi, persepsi lingkungan adalah cara seseorang mengamati, menafsirkan, dan memberi makna terhadap lingkungan fisik sekitar mereka. Persepsi ini bukan hanya didasarkan pada kondisi nyata lingkungan, tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup, kebutuhan personal, dan konteks sosial budaya. Contohnya, pada kasus gambar di atas, mereka terlihat sudah tinggal lama di lingkungan kumuh mungkin karena sudah terbiasa dengan kondisi tersebut sehingga secara subjektif menilai lingkungan itu sebagai normal atau cukup baik. Persepsi ini juga dipengaruhi oleh keterbatasan alternatif, ketergantungan pada sosialisasi di lingkungan itu, serta ikatan emosional dengan keluarga dan tetangga. Hipotesis dari saya, pada awalnya mungkin saja mereka merasa tidak nyaman tinggal di tempat tersebut. Namun, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan mereka untuk mencari tempat baru lagi mengharuskan mereka untuk tetap tinggal.

Persepsi yang muncul mendorong mereka untuk bertindak menyikapi keadaan lingkunngan tersebut. Sikap dapat bersifat adaptif, di mana mereka mengembangkan mekanisme coping atau penyesuaian untuk mengatasi ketidaknyamanan lingkungan fisik, seperti menurunkan ekspektasi kenyamanan atau mengalihkan fokus ke aspek-aspek positif lain, merubah tempat yang mereka tinggali menjadi sesuai dengan standar nyaman mereka, dan mulai membangun hubungan baik dengan lingkungan sekitar, misalnya kedekatan dengan keluarga atau komunitas. Setelah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi rasa tidak nyaman, pada akhirnya mereka akan mengambil sikap atau keputusan. Sikap ini juga dibentuk oleh sumber daya sosial, ekonomi, dan budaya yang membatasi pilihan mereka.

Bell et al. menjelaskan bahwa manusia tidak memproses informasi lingkungan secara pasif, melainkan secara selektif berdasarkan apa yang penting bagi kebutuhan fisik dan psikologis mereka. Dengan kata lain, meskipun lingkungan fisiknya buruk, aspek-aspek lain seperti rasa aman, kesejahteraan sosial, atau lokasi yang strategis dapat menetralkan kesan negatif lingkungan dan membentuk persepsi yang cukup positif. Persepsi ini mendukung keputusan seseorang untuk tinggal dan bertahan di lingkungan tersebut.

Setelah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi rasa tidak nyaman, pada akhirnya mereka akan mengambil sikap atau keputusan. Sikap ini juga dibentuk oleh sumber daya sosial, ekonomi, dan budaya yang membatasi pilihan mereka.

Kesimpulannya, alasan orang tetap tinggal di lingkungan kumuh dan tidak nyaman dapat dijelaskan melalui mekanisme persepsi dan sikap dalam psikologi lingkungan. Persepsi yang didasarkan pada kebutuhan dan pengalaman subyektif membuat seseorang menilai lingkungan lebih positif daripada kenyataan obyektifnya. Sikap adaptif dan realistis menjadi strategi psikologis untuk mengatasi ketidaknyamanan. Dimensi sosial dan emosional turut memperkuat keterikatan terhadap lingkungan tersebut. Dengan demikian, pemahaman psikologi lingkungan memberikan wacana penting dalam melihat keputusan individu sebagai hasil interaksi kompleks antara kondisi lingkungan, persepsi, sikap, dan konteks sosial budaya.

Daftar pustaka:

Bell, A.P., Greene, T.C., Fisher, J.D. & Baum, A. (2001). Environmental psychology. 5th ed. Harcourt College Publishers.


Membersihkan Kost


Essai ke-3 Before-After


Essai ke-3 Psikologi Lingkungan 

Ratu Sabinawangi Nauli Harahap

 NIM 24310410204

Dosen Pengampu: Arundati Shinta

Kelas A

Fakultas Psikologi

 Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta 

Di kost-ku, ada satu sudut yang selalu aku lewatkan cepat-cepat: tempat sampah. Plastik numpuk, kardus bekas dibiarkan begitu saja, dan baunya… cukup bikin orang pura-pura nggak lihat. Aku sendiri sering buang sampah sambil buru-buru pergi, seolah tempat itu bukan urusanku.

Sampai suatu hari, aku mau buang sampah tapi tidak ada lagi ruang. Saat itu aku mikir, “kalau aku sendiri males, kapan beresnya?” Akhirnya aku memutuskan buat bersihin sedikit. Nggak yang ribet, cuma kumpulin sampah yang berserakan, rapikan plastik, dan ganti tempat sampahnya.

Hasilnya sederhana, tapi kerasa. Sudut yang tadi bikin aku menghindar jadi lebih ringan dilihat. Nggak rapi banget, tapi jauh lebih manusiawi. Aku juga jadi buang sampah tanpa rasa kesal.

Yang menarik, setelah itu beberapa anak kost lain mulai ikut lebih rapi juga. Ternyata kadang kita cuma perlu ada satu orang yang mulai duluan.

Dan aku senang karena, setidaknya, tempat kecil itu terasa lebih layak buat dihuni. Begitu juga rasanya di dalam diri.











UTS Psikologi Lingkungan Kelas A_Wiki Ayu Rahmawati

UTS Psikologi Lingkungan Kelas A

Nama : Wiki Ayu Rahmawati  

Nim : 25310420011

Psikologi Lingkungan A

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.

11 November 2025


Menurut UU No. 4 ptal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada  pada  lahan  yang  tidak  sesuai  dengan  peruntukkan atau  tata  ruang,  kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangatterbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit   lingkungan,   kualitas   umum bangunan rendah,tidak terlayani sarana prasarana lingkungan yang memadai,membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya. Pemukiman kumuh kebanyakan mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas.

Proses pemahaman terhadap lingkungan dalam ruang tertentu bisa didasarkan pada persepsi pengguna pada properti yang ada didalam tempat tersebut. Dilihat dari tempat dan perabotan yang ada bisa disimpulakan sebagai stimulus yang akan dikirimkan dari penglihataan kemudian akaan di transfer ke otak untuk di observasi dan memberikan maakna terhadap pengalaman yang dilakukan setiap individu. Menurut persepsi Paul A Bell (1978) dijelaskan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi dari lingkungan, suatu proses untuk mendapatkan informasi dari dan tentang lingkungan seseorang yang berfokus pada penerimaan pengalaman empiris, biasanya didahului dengan adanya stimulus, proses diterimanya rangsangan sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti oleh individu yang bersangkutan ini disebut persepsi.

Fenomena yang terjadi pada pemukiman perumahaan yang terdapat di Amerika Selatan, di perlihaatkan objek fisik mempunyai sifat nyata dengan bangunan yang bertingkat digunakan untuk berteduh, dijadikan tempat tinggal, perumahaan yang terlihaat kumuh tidak terawat dan juga bangunan sudah terlihat tidak layak untuk di huni. Hasil interaksi individu dengan pemukiman didapatkan persepsi individu tentang objek tersebut. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, mendapatkan keadaan yang seimbang. Keadaan tersebut biasanya dipertahankan bagi setiap individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stress dalam dirinya

Diperlihatkaan pada pemukiman tersebut kenyamanan dalam bermukim yang didorong dengan faktor Lokasi dan kekerabatan, dorongan iitu menjadikan setiap individu mengesampingkan kondisi lingkungan tempat tinggalnya yang kurang bersih dan layak huni. Mereka terlihat nyaman bermukim di tempat tersebut dikarenakan kondisi itu sudah biasa mereka rasakan dan hadapi. Setiap individu mendapatkan kepuasan tersendiri terhadap kondisi dan juga tersedianya fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan pada pemukiman yang mereka tinggali. Adapun faktor penentu yang lainya seperti perekonomian yang rendah menjadikan mereka tetap tinggal di tempat tersebut, walaupun kondisi bangunan, lingkungan dan faktor yang lain masih kurang baik.

adaptasi yang dilakukan setiap individu dengan mengubah perilaku, keyakinan dan praktik dengan menyesuaikan tuntutan lingkungan atau norma budaya baru. dimana adanya kemampuan dalam bertahan hidup serta berkembang dalam lingkungan yang berubah. adaptasi budaya merupakan proses jangka panjang yang kemungkinannya orang tersebit merasa nyaman dalam lingkungan itu dengan adanya pebelajaran dan interaksi antar penghuni. budaya yang adaptif memungkinkan setiap individu untuk cepat beradaptasi, bertahan hidup, serta berkembang dalam lingkungan manapun. budaya bukan merupakan warisan yang biologis, melainkan dapat dipelajari dan sifatnya dinamis. budaya dicakupkan dengan nilai yang ada di lingkungan tersebut, praktik yang berbeda yang menjadikan peran penting dalam menjembatani perbedaan di lingkungan itu

Kesimpulan

Pemukiman kumuh juga kurang terlayani oleh fasilitas yang memadai dan berisiko bagi penghuninya. Memahami lingkungan dapat dilakukan melalui persepsi pengguna terhadap properti di dalam tempat tersebut. Amerika Selatan, pemukiman kumuh terdiri dari bangunan bertingkat yang tidak terawat dan tampak tidak layak huni. Persepsi individu tentang lingkungan dapat membuat mereka merasa nyaman atau stres, tergantung pada bagaimana mereka memandang objek di sekitarnya. Faktor lokasi, hubungan sosial, dan kondisi fasilitas dapat memengaruhi kenyamanan mereka meskipun lingkungan tidak bersih. Selain itu, adaptasi individu terhadap lingkungan baru juga penting. Adaptasi merupakan proses belajar dan interaksi yang memungkinkan orang beradaptasi, bertahan hidup, dan berkembang dalam lingkungan yang berubah. 


Daftar Pustaka 

GUNAWAN, I. (2006). PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENGELOLAAN.

Muhammad Irfan Dwifan H., M. A. (2024). KONSEP ARSITEKTUR PERILAKU SEBAGAI STRATEGI DESAIN PADA NITIPRAYAN ART CENTER DI KAMPUNG SENI NITIPRAYAN . ILMIAH MAHASISWA ARSITEK, 732-741.

Novrialdi, R. (2024). Implementasi Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)di Kelurahan Tembilahan Hilir Kabupaten Indragiri Hilir. Of Research and Development on Public Policy, 180-188.

Yudono, Y. W. (n.d.). PERCEPTION OF TEENS ON SOCIABILITY ATTRIBUTES SETTING THE PLAZA PURWOKERTO (Persepsi Remaja Terhadap Atribut Sosialibilitas Pada Setting Alun-alun Purwokerto) .