UJIAN AKHIR SEMESTER
Psikologi Industri dan Organisasi
Dosen Pengampu Dr. Arundati Shinta, M. A 
Ratu Sabinawangi Nauli H
NIM. 24310410204
Kelas A
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Ratu Sabinawangi Nauli H
NIM. 24310410204
Kelas A
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Akhir-akhir ini, isu kepemimpinan menjadi perhatian besar publik di media sosial. Salah satu tokoh yang banyak dibicarakan adalah Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat. Ia dikenal sangat vokal dan aktif menangani isu-isu lingkungan seperti sampah, banjir, penebangan pohon ilegal, penambangan liar, serta pembangunan rumah di daerah resapan air. Tidak hanya mengandalkan fasilitas pemerintah, KDM bahkan rela menggunakan dana pribadinya dalam jumlah besar demi menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Dukungan masyarakat terhadapnya mencapai lebih dari 94%, menjadikannya gubernur dengan tingkat kepercayaan tertinggi di seluruh Pulau Jawa (Febrian & Farisa, 2025). Namun, keberhasilan KDM juga menimbulkan reaksi kurang simpatik dari sejumlah gubernur lain, seperti Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Banten, yang tampak tidak nyaman dengan sorotan positif yang diarahkan pada KDM (Farhan, 2025; Metro TV, 2025). Fenomena ini mendorong kita untuk mengevaluasi kepemimpinan para kepala daerah lain, khususnya Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Banten, melalui pendekatan enam elemen keberanian dalam kepemimpinan yang dikembangkan oleh Sen et al. (2013). Elemen-elemen tersebut mencakup: biological courage, power courage, intellectual courage, followers’ courage, moral courage, dan creative courage. 
Elemen pertama, biological courage, merujuk pada keberanian fisik pemimpin untuk hadir langsung di lapangan, menghadapi bencana atau persoalan masyarakat secara nyata. Dalam praktiknya, Gubernur DKI Jakarta cenderung memberikan respons dari belakang meja saat banjir melanda, sedangkan Gubernur Banten juga dinilai lamban dalam merespons bencana daerah. Keduanya belum menunjukkan keberanian fisik seperti yang diperlihatkan KDM yang terjun langsung ke lokasi.
Power courage, keberanian menggunakan kekuasaan untuk kebaikan rakyat meski tak populer, juga belum sepenuhnya tampak. Gubernur DKI Jakarta sempat menata PKL di pusat kota, namun kebijakan tersebut dituding lebih menguntungkan pengusaha besar. Gubernur Banten pun kerap memilih untuk ‘aman’, bahkan saat kebijakan yang diambil merugikan lingkungan hidup. 
Dalam hal intellectual courage, atau keberanian berpikir terbuka dan kritis, keduanya belum optimal. Gubernur DKI Jakarta memang memiliki beberapa program berbasis teknologi, namun banyak kebijakan dinilai tidak melalui kajian publik yang matang. Sementara itu, Gubernur Banten belum terlihat membawa gagasan besar atau inovatif dalam kepemimpinannya. 
Elemen followers’ courage menuntut keberanian untuk menghadapi kritik dari rakyat. Di media sosial, Gubernur DKI sering kali bersikap defensif terhadap kritik, sementara Gubernur Banten cenderung diam dan menghindari perdebatan. Respons semacam ini tidak mencerminkan keberanian untuk mendengar dan belajar dari masyarakat. 
Moral courage, keberanian untuk melakukan yang benar walaupun berisiko secara politik, juga menjadi titik lemah. Dalam isu perusakan lingkungan atau pengalihfungsian ruang hijau, keduanya belum menunjukkan ketegasan untuk membela kepentingan rakyat banyak. Keberanian moral seperti yang dimiliki KDM belum terlihat dalam kepemimpinan mereka.
Terakhir, creative courage, yaitu keberanian mencoba pendekatan baru dalam menyelesaikan masalah. Beberapa ide seperti Jakarta Smart City pernah dicoba, namun kurang berkelanjutan dan tidak berdampak besar. Gubernur Banten pun belum menunjukkan inovasi kebijakan yang signifikan. 
Melihat kekurangan tersebut, beberapa solusi dapat diusulkan. Pertama, pemimpin daerah harus lebih sering turun ke lapangan untuk melihat dan merasakan langsung kondisi rakyat. Kedua, mereka harus berani menolak kepentingan elite politik atau pemodal jika bertentangan dengan kepentingan publik. Ketiga, keterlibatan akademisi dan pakar perlu ditingkatkan agar kebijakan berbasis data menjadi norma. Keempat, kritik publik seharusnya disambut dengan terbuka, bukan dihindari. Kelima, nilai moral harus dijaga, terutama dalam isu lingkungan dan keadilan sosial. Terakhir, pemimpin harus mendorong kolaborasi lintas sektor agar muncul solusi baru yang inovatif. 
Kepemimpinan bukan sekadar posisi administratif, melainkan soal keberanian dalam bertindak benar, berpikir kritis, dan menghadapi tantangan. Figur seperti KDM menunjukkan bahwa ketika enam elemen keberanian itu hadir dalam satu pribadi, kepercayaan rakyat pun akan mengalir. Inilah tantangan nyata bagi para pemimpin daerah lainnya, jika ingin meninggalkan warisan kepemimpinan yang bermakna. 
Daftar Pustaka
• Febrian, R., & Farisa, M. (2025). Dukungan Publik terhadap Kebijakan Gubernur Jawa Barat: Sebuah Survei Regional. Bandung: Pusat Data Kebijakan Publik.
• Farhan, A. (2025). “Politik Reaktif Gubernur dalam Era Media Sosial.” Jurnal Politik dan Komunikasi Publik, 17(2), 88–104.
• Metro TV. (2025). Peta Politik Gubernur di Tengah Popularitas KDM. [Siara Televisi,20 Mei 2025].
• Momo Bar Bar New. (2025). Podcast Episode 77: Gubernur Takut Populer?. Diakses dari: [platform podcast lokal].
• Sen, S., Gogoi, P., & Barua, M. (2013). Six Courageous Elements of Leadership in Practice: A Conceptual Framework. Journal of Leadership Studies, 5(1), 112–124






 

 
 
 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar