Selasa, 22 Juli 2025

Kesehatan mental di tempat kerja(wawancara karyawan)

 Nama : Fitri rahmayasari

Nim : 24310410056

Prodi : Psikologi

Dr., Dra. Arundati Shinta M.A.




Kesehatan Mental di Tempat Kerja


Kesehatan mental karyawan menjadi isu yang semakin mendapat perhatian dalam dunia kerja modern. Lingkungan kerja yang kompetitif, tekanan target, konflik antar rekan kerja, dan ketidakjelasan peran seringkali menjadi pemicu stres berkepanjangan yang dapat mengarah pada gangguan psikologis. Dalam kajian Psikologi Industri dan Organisasi (PIO), pemahaman terhadap kesehatan mental karyawan sangat penting karena menyangkut produktivitas, retensi, dan kesejahteraan individu dalam organisasi.

Sebagai bagian dari tugas mata kuliah PIO, penulis melakukan wawancara dengan seorang karyawan dari sebuah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang layanan pelanggan. Wawancara ini bertujuan untuk menggali persepsi, pengalaman, dan kebutuhan karyawan terkait dengan kesehatan mental di tempat kerja. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur dengan pertanyaan utama seputar stres kerja, dukungan dari atasan dan rekan, serta mekanisme coping yang digunakan oleh karyawan.

Karyawan yang diwawancarai adalah seorang perempuan berusia 29 tahun, dengan masa kerja lebih dari lima tahun. Ia menyampaikan bahwa tekanan kerja terutama muncul dari tuntutan pelanggan yang tinggi dan volume pekerjaan yang tidak seimbang. Ia sering merasa lelah secara mental, terutama ketika harus menghadapi komplain pelanggan yang emosional. Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa ia tidak berani menyampaikan keluhannya kepada atasan karena khawatir dianggap tidak profesional atau tidak mampu bekerja.

Salah satu poin penting yang muncul dari wawancara adalah kurangnya kebijakan formal perusahaan dalam menangani isu kesehatan mental. Tidak ada konselor atau psikolog internal, dan topik mengenai kesehatan mental belum pernah dibahas dalam pelatihan atau forum resmi perusahaan. Selain itu, budaya kerja yang cenderung menormalisasi stres sebagai bagian dari profesionalisme membuat karyawan enggan mencari bantuan.

Dari segi coping mechanism, responden menyebutkan bahwa ia lebih sering mengatasi stres dengan berbicara kepada teman kerja secara informal atau beristirahat sejenak di toilet ketika merasa cemas. Namun, ia mengakui bahwa strategi tersebut tidak selalu efektif dan lebih bersifat sementara.

Wawancara ini menunjukkan pentingnya dukungan organisasi terhadap kesehatan mental karyawan. Berdasarkan teori Job Demands-Resources Model (Bakker & Demerouti, 2007), tekanan kerja yang tinggi (job demands) tanpa dukungan sosial atau sumber daya kerja yang memadai (job resources) akan meningkatkan risiko burnout. Oleh karena itu, peran psikolog industri sangat dibutuhkan dalam merancang intervensi organisasi, seperti pelatihan manajemen stres, sesi konseling karyawan, dan kebijakan kerja fleksibel.

Kesimpulannya, wawancara ini memberikan gambaran nyata bahwa meskipun masalah kesehatan mental telah dirasakan banyak karyawan, namun belum semua perusahaan memberikan perhatian yang serius terhadap isu ini. Mahasiswa Psikologi, khususnya dalam ranah PIO, perlu memiliki kepekaan dan keterampilan untuk mengadvokasi pentingnya program kesejahteraan psikologis di tempat kerja. Kesehatan mental bukan hanya urusan pribadi, tetapi tanggung jawab bersama antara individu dan organisasi.

0 komentar:

Posting Komentar