Rabu, 31 Desember 2025

Essay 7 - Belajar Kelola Sampah di TPST Randualas

 

ANALISIS PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN: STUDI PENGAMATAN PROSES PEMILAHAN DAN PEMBAKARAN DI TPS 3R RANDU ALAS, SLEMAN, YOGYAKARTA



Nunung Setyowati

Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu: Ibu Arundati Shinta, M.Psi

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta

 

Kunjungan ke TPS 3R Randu Alas di Dusun Candikarang, Sleman, Yogyakarta, menjadi pengalaman yang membuka mata bagi saya sebagai mahasiswi psikologi yang sedang mendalami isu lingkungan. Pada tanggal 11 November 2025, saya tiba di sana sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari pusat kota Jogja. Cuaca cerah dengan langit biru membuat suasana terasa segar, meskipun aroma sampah yang samar-samar sudah tercium dari kejauhan. Lokasi ini berada di kawasan pedesaan, dikelilingi pepohonan dan rumah-rumah sederhana, dengan gedung utama berwarna hijau mencolok yang bertuliskan "Tempat Pengolahan Sampah, Mengurangi, Memilah, Daur Ulang". Papan nama itu langsung menarik perhatian, lengkap dengan nomor telepon dan alamat Rt.03 Rw.09 Sardoharjo Ngaglik, seolah mengundang siapa saja untuk belajar tentang pengelolaan sampah berkelanjutan.

Saat memasuki area TPS, saya disambut oleh deretan tong biru dan hijau yang berjejer rapi di pinggir jalan sempit. Beberapa tong berisi botol plastik transparan yang ditumpuk di atasnya, seperti instalasi seni dari bahan bekas. Ada juga tong besar berwarna biru yang diberi label seperti "07 TPS 3R Randu Alas" dan "08", yang tampaknya digunakan untuk menyortir sampah anorganik. Di sekitarnya, tanaman hijau subur tumbuh di pot-pot daur ulang, mulai dari botol plastik yang dipotong hingga ban bekas yang dijadikan wadah. Saya perhatikan ada area khusus untuk kompos, di mana tong biru besar berisi campuran air keruh dengan potongan organik mengapung—mungkin proses fermentasi untuk pupuk. Partikel-partikel putih dan cokelat di permukaannya menunjukkan dekomposisi alami, dengan bau tanah basah yang tidak terlalu menyengat. Di belakang, ada taman kecil dengan rumput hijau dan pot tanaman yang tersusun acak, termasuk satu pot buram yang berisi tanaman merambat dengan daun kuning jatuh di sekitarnya, menambah kesan alami tapi terorganisir.

Proses belajar dimulai dengan sesi memilah sampah. Petugas di sana, seorang Bapak berpakaian sederhana, menjelaskan langkah demi langkah. Sampah rumah tangga dibagi menjadi organik seperti sisa makanan dan daun kering, yang dimasukkan ke tong kompos untuk diolah menjadi pupuk. Anorganik seperti plastik dan botol dipilah lagi: yang bisa didaur ulang disimpan di tong biru, sementara yang rusak atau tidak layak diproses lebih lanjut. Saya ikut mencoba, memegang bungkus plastik bekas dan botol minuman, merasakan teksturnya yang ringan tapi tahan lama. Proses ini membuat saya sadar betapa psikologi memainkan peran besar—kebiasaan memilah bisa mengubah perilaku masyarakat dari pembuangan sembarangan menjadi kesadaran lingkungan, mengurangi stres kolektif akibat polusi. Di area parkir kecil, saya lihat orang-orang lokal mengantre membawa sampah mereka, membentuk antrean santai di belakang pagar kayu, dengan tanaman tropis seperti palem dan aglonema menghiasi sekitar, menciptakan suasana yang edukatif sekaligus nyaman.

Selanjutnya, bagian yang paling menarik adalah pembakaran sampah. Ini dilakukan di zona terpisah, dengan hati-hati untuk sampah residu yang tidak bisa didaur ulang atau dikompos, seperti plastik campur yang sudah terkontaminasi. Petugas menggunakan tungku sederhana dari drum bekas, menyalakan api kecil untuk membakarnya secara terkendali. Asap putih naik pelan, dan saya diajari bahwa proses ini harus diawasi agar tidak menimbulkan polusi berlebih, dengan penambahan bahan pembantu untuk mengurangi emisi. Berat sampah yang dibakar hari itu tidak lebih dari 2 kg per sesi, tapi dampaknya signifikan dalam mengurangi volume limbah. Saya rasakan panasnya dari jarak aman, sambil memikirkan aspek psikologis: membakar sebagai simbol penghancuran masalah, tapi juga pengingat akan tanggung jawab untuk tidak bergantung padanya sebagai solusi utama.

Secara keseluruhan, kunjungan ini memperkaya pemahaman saya tentang siklus 3R. Dari memilah yang membutuhkan ketelitian hingga membakar yang memerlukan kehati-hatian, semuanya menunjukkan komitmen komunitas Randu Alas dalam menjaga lingkungan. Saya lihat bagaimana TPS ini bukan sekadar tempat buang sampah, tapi pusat edukasi yang mengubah sampah menjadi sumber daya—pot tanaman dari botol bekas, pupuk dari organik, dan bahkan pekerjaan bagi warga lokal. Pengalaman ini menguatkan keyakinan bahwa psikologi lingkungan bisa mendorong perubahan perilaku massal, membuat Jogja lebih hijau dan berkelanjutan. Saya pulang dengan catatan penuh, siap menerapkan pelajaran ini dalam tugas kuliah selanjutnya.








0 komentar:

Posting Komentar