ANALISIS PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN: STUDI
PENGAMATAN PROSES PEMILAHAN DAN PEMBAKARAN DI TPS 3R RANDU ALAS, SLEMAN,
YOGYAKARTA
Nunung Setyowati
Mata Kuliah Psikologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Ibu Arundati Shinta, M.Psi
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Kunjungan ke TPS 3R Randu Alas di Dusun Candikarang,
Sleman, Yogyakarta, menjadi pengalaman yang membuka mata bagi saya sebagai
mahasiswi psikologi yang sedang mendalami isu lingkungan. Pada tanggal 11
November 2025, saya tiba di sana sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh
perjalanan sekitar 30 menit dari pusat kota Jogja. Cuaca cerah dengan langit
biru membuat suasana terasa segar, meskipun aroma sampah yang samar-samar sudah
tercium dari kejauhan. Lokasi ini berada di kawasan pedesaan, dikelilingi
pepohonan dan rumah-rumah sederhana, dengan gedung utama berwarna hijau
mencolok yang bertuliskan "Tempat Pengolahan Sampah, Mengurangi, Memilah,
Daur Ulang". Papan nama itu langsung menarik perhatian, lengkap dengan
nomor telepon dan alamat Rt.03 Rw.09 Sardoharjo Ngaglik, seolah mengundang
siapa saja untuk belajar tentang pengelolaan sampah berkelanjutan.
Saat memasuki area TPS, saya disambut oleh deretan tong
biru dan hijau yang berjejer rapi di pinggir jalan sempit. Beberapa tong berisi
botol plastik transparan yang ditumpuk di atasnya, seperti instalasi seni dari
bahan bekas. Ada juga tong besar berwarna biru yang diberi label seperti
"07 TPS 3R Randu Alas" dan "08", yang tampaknya digunakan
untuk menyortir sampah anorganik. Di sekitarnya, tanaman hijau subur tumbuh di
pot-pot daur ulang, mulai dari botol plastik yang dipotong hingga ban bekas
yang dijadikan wadah. Saya perhatikan ada area khusus untuk kompos, di mana
tong biru besar berisi campuran air keruh dengan potongan organik
mengapung—mungkin proses fermentasi untuk pupuk. Partikel-partikel putih dan
cokelat di permukaannya menunjukkan dekomposisi alami, dengan bau tanah basah
yang tidak terlalu menyengat. Di belakang, ada taman kecil dengan rumput hijau
dan pot tanaman yang tersusun acak, termasuk satu pot buram yang berisi tanaman
merambat dengan daun kuning jatuh di sekitarnya, menambah kesan alami tapi
terorganisir.
Proses belajar dimulai dengan sesi memilah sampah.
Petugas di sana, seorang Bapak berpakaian sederhana, menjelaskan langkah demi
langkah. Sampah rumah tangga dibagi menjadi organik seperti sisa makanan dan
daun kering, yang dimasukkan ke tong kompos untuk diolah menjadi pupuk.
Anorganik seperti plastik dan botol dipilah lagi: yang bisa didaur ulang
disimpan di tong biru, sementara yang rusak atau tidak layak diproses lebih
lanjut. Saya ikut mencoba, memegang bungkus plastik bekas dan botol minuman,
merasakan teksturnya yang ringan tapi tahan lama. Proses ini membuat saya sadar
betapa psikologi memainkan peran besar—kebiasaan memilah bisa mengubah perilaku
masyarakat dari pembuangan sembarangan menjadi kesadaran lingkungan, mengurangi
stres kolektif akibat polusi. Di area parkir kecil, saya lihat orang-orang
lokal mengantre membawa sampah mereka, membentuk antrean santai di belakang
pagar kayu, dengan tanaman tropis seperti palem dan aglonema menghiasi sekitar,
menciptakan suasana yang edukatif sekaligus nyaman.
Selanjutnya, bagian yang paling menarik adalah pembakaran
sampah. Ini dilakukan di zona terpisah, dengan hati-hati untuk sampah residu
yang tidak bisa didaur ulang atau dikompos, seperti plastik campur yang sudah
terkontaminasi. Petugas menggunakan tungku sederhana dari drum bekas,
menyalakan api kecil untuk membakarnya secara terkendali. Asap putih naik
pelan, dan saya diajari bahwa proses ini harus diawasi agar tidak menimbulkan
polusi berlebih, dengan penambahan bahan pembantu untuk mengurangi emisi. Berat
sampah yang dibakar hari itu tidak lebih dari 2 kg per sesi, tapi dampaknya
signifikan dalam mengurangi volume limbah. Saya rasakan panasnya dari jarak
aman, sambil memikirkan aspek psikologis: membakar sebagai simbol penghancuran
masalah, tapi juga pengingat akan tanggung jawab untuk tidak bergantung padanya
sebagai solusi utama.
Secara keseluruhan, kunjungan ini memperkaya pemahaman
saya tentang siklus 3R. Dari memilah yang membutuhkan ketelitian hingga
membakar yang memerlukan kehati-hatian, semuanya menunjukkan komitmen komunitas
Randu Alas dalam menjaga lingkungan. Saya lihat bagaimana TPS ini bukan sekadar
tempat buang sampah, tapi pusat edukasi yang mengubah sampah menjadi sumber
daya—pot tanaman dari botol bekas, pupuk dari organik, dan bahkan pekerjaan
bagi warga lokal. Pengalaman ini menguatkan keyakinan bahwa psikologi lingkungan
bisa mendorong perubahan perilaku massal, membuat Jogja lebih hijau dan
berkelanjutan. Saya pulang dengan catatan penuh, siap menerapkan pelajaran ini
dalam tugas kuliah selanjutnya.






0 komentar:
Posting Komentar