Rabu, 31 Desember 2025

Essay 5 - Melakukan Upcycling Sampah Anorganik

 

Mengubah Sampah Plastik dan Banner Bekas Menjadi Produk Fashion Bernilai Ekonomis: Praktik Upcycling dan Potensi Pasar Anak Muda Yogyakarta

Nunung Setyowati

Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu: Ibu Arundati Shinta, M.Psi

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta

Tanggal 23 November 2025, saya memutuskan menghabiskan hari di rumah saja untuk menyelesaikan proyek upcycling yang sudah kutunda cukup lama. Bahan bakunya cuma setumpuk banner bekas reklame yang saya kumpulkandari bekas banner promosi  dari kantor tempat saya bekerja, ditambah beberapa karung beras bekas dan botol plastik besar yang dipotong jadi tali webbing. Semuanya anorganik murni, nggak ada yang bisa terurai, tapi hari ini mereka akan berubah jadi tas yang punya nilai jual.

Pagi pukul delapan, aku gelar semua bahan di belakang rumah. Banner-bannernya masih bau sablon dan agak lengket karena lembap malam. Aku cuci satu per satu menggunakan sabun cream sampai bersih, lalu jemur di bawah matahari Jogja yang lagi terik-teriknya. Sambil nunggu kering, saya memlulai dengan potong pola: badan tas 38 × 42 cm, saku dalam, dan tutup flap. Desainnya saya buat simpel saja  tapi punya karakter dengan warna dasar biru tua dari banner bekas serta kombinasi merah dari banner lain, ditambah aksen karung beras cokelat tua yang sudah dicuci berkali-kali sampai tidak berbau

Proses jahit jadi bagian yang paling serius. Saya pakai mesin jahit rumahan yang agak rewel, jarumnya sering patah kalau ketemu lapisan banner yang tebal. Satu tas butuh sekitar dua jam: menjahit saku dalam dulu, lalu lapis luar, pasang resleting YKK bekas (masih mulus), kemudian jahit double stitch biar kuat bawa laptop 14 inci. Tali  dibuat dari anyaman botol plastik yang dipotong memanjang 2 cm, dilelehkan pinggirnya pakai lilin supaya nggak ambrol, lalu dijahit jadi webbing tebal. Hasilnya kokoh banget, bisa nahan beban sampai 10 kg tanpa takut sobek.

Sore hari, empat tas sudah jadi. Tas pertama full banner biru-merah dengan flap karung beras, tas kedua motif abstrak dari potongan banner warna-warni, tas ketiga aku tambah saku luar untuk botol minum, dan tas keempat aku buat model sling bag kecil yang lagi ngetren. Semuanya aku lapisi furing hitam dari kain perca supaya dalemnya rapi dan nggak kelihatan bekas sablon yang tersisa. Bau plastik panas dari setrika dan benang polyester masih menempel di tangan, tapi saya puas banget lihat hasilnya: tas-tas ini nggak kelihatan murahan, malah terlihat artsy dan limited.

Malamnya, saya foto produk dengan lighting softbox sederhana dari lampu belajar dan kain putih. Background saya pakai lemari kayu yang sudah tua, biar nuansanya vintage. Setelah edit sedikit di Lightroom supaya warna banner keluar, saya mulai riset harga. Saya coba dengan buka Shopee, Tokopedia, dan Instagram beberapa seller upcycling ternama di Jogja dan Bandung. Tas banner ukuran serupa dijual Rp180.000–Rp320.000, tergantung kerumitan jahitan dan branding. Setelah saya hitung ulang HPP: bahan hampir nol rupiah (semua gratisan), listrik dan benang ±Rp15.000 per tas, resleting dan aksesoris Rp25.000. Total HPP maksimal Rp45.000 per tas.

Akhirnya saya menentukan harga:

Ø  Tote besar dua saku Rp235.000

Ø  Tote flap karung Rp265.000

Ø  Laptop bag Rp285.000

Ø  Sling bag kecil Rp175.000

 

Harga ini dirasa cukup kompetitif, masih ada margin 400–500 % tapi nggak terlalu mahal untuk pasar anak muda dan pekerja kreatif yang suka barang unik. Saya masukkan semua foto, deskripsi cerita bahan daur ulang, ukuran detail, dan kapasitas beban ke dalam draft listing di Tokopedia dan Instagram shop. Belum aku publish, tapi semua sudah siap: nama brand “Plasback” dan tagline “dari limbah jadi legacy

Malam itu saya tidur dengan perasaan aneh: sampah yang kemarin cuma numpuk di gudang office, hari ini sudah punya harga dan cerita sendiri. Empat tas itu bukan lagi limbah, tapi bukti bahwa anorganik pun bisa punya nyawa kalau kita mau repot memberinya bentuk baru.

0 komentar:

Posting Komentar