Mengubah Sampah
Plastik dan Banner Bekas Menjadi Produk Fashion Bernilai Ekonomis: Praktik
Upcycling dan Potensi Pasar Anak Muda Yogyakarta
Nunung
Setyowati
Mata Kuliah Psikologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Ibu Arundati Shinta, M.Psi
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Tanggal
23 November 2025, saya memutuskan menghabiskan hari di rumah saja untuk
menyelesaikan proyek upcycling yang sudah kutunda cukup lama. Bahan bakunya cuma setumpuk banner bekas reklame yang saya
kumpulkandari bekas banner promosi dari kantor
tempat saya bekerja, ditambah beberapa karung beras bekas dan botol plastik
besar yang dipotong jadi tali webbing. Semuanya anorganik murni, nggak ada yang
bisa terurai, tapi hari ini mereka akan berubah jadi tas yang punya nilai jual.
Pagi pukul delapan, aku gelar semua bahan di belakang
rumah. Banner-bannernya masih bau sablon dan agak lengket karena lembap malam.
Aku cuci satu per satu menggunakan sabun cream sampai bersih, lalu jemur di
bawah matahari Jogja yang lagi terik-teriknya. Sambil nunggu kering, saya
memlulai dengan potong pola: badan tas 38 × 42 cm, saku dalam, dan tutup flap.
Desainnya saya buat simpel saja tapi
punya karakter dengan warna dasar biru tua dari banner bekas serta kombinasi
merah dari banner lain, ditambah aksen karung beras cokelat tua yang sudah dicuci
berkali-kali sampai tidak berbau
Proses jahit jadi bagian yang paling serius. Saya pakai
mesin jahit rumahan yang agak rewel, jarumnya sering patah kalau ketemu lapisan
banner yang tebal. Satu tas butuh sekitar dua jam: menjahit saku dalam dulu,
lalu lapis luar, pasang resleting YKK bekas (masih mulus), kemudian jahit
double stitch biar kuat bawa laptop 14 inci. Tali dibuat dari anyaman botol plastik yang dipotong
memanjang 2 cm, dilelehkan pinggirnya pakai lilin supaya nggak ambrol, lalu
dijahit jadi webbing tebal. Hasilnya kokoh banget, bisa nahan beban sampai 10
kg tanpa takut sobek.
Sore hari, empat tas sudah jadi. Tas pertama full banner
biru-merah dengan flap karung beras, tas kedua motif abstrak dari potongan
banner warna-warni, tas ketiga aku tambah saku luar untuk botol minum, dan tas
keempat aku buat model sling bag kecil yang lagi ngetren. Semuanya aku lapisi
furing hitam dari kain perca supaya dalemnya rapi dan nggak kelihatan bekas
sablon yang tersisa. Bau plastik panas dari setrika dan benang polyester masih
menempel di tangan, tapi saya puas banget lihat hasilnya: tas-tas ini nggak
kelihatan murahan, malah terlihat artsy dan limited.
Malamnya, saya foto produk dengan lighting softbox
sederhana dari lampu belajar dan kain putih. Background saya pakai lemari kayu yang
sudah tua, biar nuansanya vintage. Setelah edit sedikit di Lightroom supaya
warna banner keluar, saya mulai riset harga. Saya coba dengan buka Shopee,
Tokopedia, dan Instagram beberapa seller upcycling ternama di Jogja dan
Bandung. Tas banner ukuran serupa dijual Rp180.000–Rp320.000, tergantung
kerumitan jahitan dan branding. Setelah saya hitung ulang HPP: bahan hampir nol
rupiah (semua gratisan), listrik dan benang ±Rp15.000 per tas, resleting dan
aksesoris Rp25.000. Total HPP maksimal Rp45.000 per tas.
Akhirnya saya menentukan harga:
Ø Tote besar dua saku Rp235.000
Ø Tote
flap karung Rp265.000
Ø Laptop
bag Rp285.000
Ø Sling
bag kecil Rp175.000
Harga
ini dirasa cukup kompetitif, masih ada margin 400–500 % tapi nggak terlalu
mahal untuk pasar anak muda dan pekerja kreatif yang suka barang unik. Saya masukkan semua foto, deskripsi cerita bahan daur
ulang, ukuran detail, dan kapasitas beban ke dalam draft listing di Tokopedia
dan Instagram shop. Belum aku publish, tapi semua sudah siap: nama brand
“Plasback” dan tagline “dari limbah jadi legacy
Malam itu saya tidur dengan perasaan aneh: sampah yang
kemarin cuma numpuk di gudang office, hari ini sudah punya harga dan cerita
sendiri. Empat tas itu bukan lagi limbah, tapi bukti bahwa anorganik pun bisa
punya nyawa kalau kita mau repot memberinya bentuk baru.






0 komentar:
Posting Komentar