Rabu, 31 Desember 2025

Essay 6 - Bereksperimen di Rumah Dosen

 

FORMULASI SABUN CUCI CAIR RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS ECO-ENZYME DENGAN PENAMBAH AROMA SERAI DAN CENGKEH: LAPORAN KEGIATAN PRAKTIK LAPANG 2025

Nunung Setyowati

Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu: Ibu Arundati Shinta, M.Psi

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta

Hari Minggu tanggal 30 November 2025, saya dan rekan mahasiswa lain berangkat pagi-pagi ke rumah Bu Shinta untuk praktik membuat sabun cuci berbasis eco-enzyme. Begitu sampai, aroma serai segar dan gula jawa yang sedang direbus langsung menyelinap ke hidung. Di halaman belakang sudah disulap jadi workshop dadakan: tikar warna-warni digelar, panci besar berasap, ember-ember berjejer, dan meja kecil penuh bahan mentah. Ada tumpukan batang serai masih berembun, buah lerak yang sudah dikupas kulitnya, balok-balok gula jawa cokelat tua, sabun gliserol bening, dan toples cengkeh utuh. Total kami sebelas mahasiswa ditambah Bu Shinta dan suaminya yang jadi pembimbing sekaligus fotografer.

Kami langsung lesehan dan bagi tugas. Ada yang motong batang serai seukuran jari, ada yang menghaluskan lerak pakai cobek sampai jadi pasta cokelat, aku dan dua teman mencairkan 5 kg gula jawa dengan 10 liter air sampai mendidih dan berubah jadi larutan kental manis. Begitu gula larut sempurna, kami matikan api, tuang 1 liter sabun gliserol, aduk pelan supaya nggak berbusa berlebihan. Setelah suhu turun, baru masukkan 2 kg lerak halus, 500 gram batang serai yang sudah direbus sebentar, serta segenggam cengkeh yang digeprek kasar. Terakhir, kami tambahkan 3 liter eco-enzyme kuning kecokelatan hasil fermentasi 3 bulan dari kulit buah dan gula sebelumnya. Bau asam-manis enzyme langsung bercampur wangi serai dan cengkeh, bikin suasana workshop jadi seperti pasar rempah versi modern.

Pengadukan jadi ritual paling panjang. Kami bergantian pakai tongkat kayu besar, setiap 15 menit sekali selama hampir dua jam. Awalnya cair, perlahan mengental jadi gel cokelat tua yang licin dan berat. Aromanya berubah-ubah: manis gula jawa dulu, lalu asam enzyme, kemudian kuat serai dan cengkeh yang bikin hidung segar sepanjang hari. Bu Shinta menjelaskan sambil tangannya ikut mengaduk: lerak menyumbang saponin alami sebagai pembuat busa, eco-enzyme menurunkan pH sekaligus memberi bakteri baik, serai dan cengkeh berfungsi antibakteri dan pewangi alami, sedangkan gliserol menjaga kelembutan tangan.

Setelah gel matang, kami tuang ke puluhan botol air mineral bekas 600 ml. Hasil akhir sekitar 15 kg sabun cuci cair kental berwarna cokelat transparan dengan serpihan serai dan cengkeh mengambang—malah bikin tampilannya estetik. Dicium dari dekat, baunya seperti jamu modern: manis, asam, pedas, segar, semuanya jadi satu. Saya uji coba langsung untuk digunakan mencuci peralatan bekas digunakan saat eksperimen membuat sabun. Busa memang tidak sebanyak sabun pabrik, tapi noda hilang bersih dan wangi serai nempel lama di tangan maupun diperalatan makan.

Selesai pada tengah hari, masing-masing pulang membawa goodie bag berisi 1 botol sabun cuci piring, pupuk kompos, dan gantungan kunci dari tali plus resep lengkap cara membuat sabun yang tersimpan rapi di ponsel. Sepanjang perjalanan pulang aku cuma bisa mikir satu hal: dari sampah dapur dan kebun, kami berhasil bikin pembersih serbaguna yang murah, efektif, dan tidak mencemari. Workshop hari itu membuktikan bahwa solusi paling sederhana sering kali ada di depan mata, tinggal mau atau tidak untuk mencobanya.






0 komentar:

Posting Komentar