Model
Kepemimpinan KDM (Kang Dedi Mulyadi): Transformasi Vs Partisipatif?
Nama : Yonas
Yogi
Nim :24310410021
Latar Belakang
Kepemimpinan pada tingkat pemerintahan lokal memainkan peran strategis dalam menjembatani aspirasi masyarakat dengan kebijakan publik. Dalam konteks Indonesia, di mana keberagaman budaya, tingkat partisipasi politik warga, serta kompleksitas birokrasi masih menjadi tantangan utama, figur pemimpin lokal yang mampu menyelaraskan nilai-nilai kultural dengan visi pembangunan menjadi sangat penting. Salah satu figur yang menarik perhatian dalam dua dekade terakhir adalah Kang Dedi Mulyadi (KDM)—mantan Bupati Purwakarta dan anggota DPR RI—yang dikenal dengan pendekatan kepemimpinan berbasis budaya, spiritualitas, dan komunikasi publik yang intens melalui media sosial.
Fenomena kepemimpinan KDM menjadi relevan untuk dikaji bukan hanya karena efektivitas program-program pembangunan yang ia jalankan, tetapi juga karena pendekatannya yang dinilai keluar dari pakem birokrasi administratif yang konvensional. Ia kerap hadir langsung di tengah masyarakat, berdialog dengan warga secara informal, serta menyisipkan narasi-narasi filosofis dan kultural dalam setiap aktivitas publiknya. Dalam banyak kesempatan, KDM tidak hanya tampil sebagai pejabat publik, tetapi juga sebagai “juru bicara” nilai-nilai lokal—sebuah peran yang jarang terlihat dalam model kepemimpinan pemerintahan daerah pada umumnya.
Namun, hingga saat ini, kajian yang secara khusus mengeksplorasi praktik kepemimpinan lokal di Indonesia dengan kerangka dua model tersebut masih terbatas. Dalam studi kepemimpinan kontemporer, dua pendekatan dominan yang sering digunakan untuk menjelaskan efektivitas seorang pemimpin adalah kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan transformasional, seperti dijelaskan oleh Bass dan Riggio (2006), berfokus pada kemampuan pemimpin untuk menginspirasi dan memotivasi pengikut melalui visi, nilai moral, dan komitmen terhadap perubahan. Sementara itu, kepemimpinan partisipatif menekankan kolaborasi, komunikasi dua arah, serta pemberdayaan individu dalam proses pengambilan keputusan (Somech, 2019; Huang et al., 2021).
Lebih lanjut, kesenjangan empiris juga mencuat dalam studi-studi kepemimpinan daerah di Indonesia. Sebagian besar riset lokal masih terfragmentasi dan belum mengembangkan kerangka konseptual yang mampu menjelaskan praktik kepemimpinan yang bersifat hibrid—yang menggabungkan unsur transformasional dan partisipatif secara kontekstual. Sebuah studi oleh Riani et al. (2020) dalam International Journal of Public Leadership menyebutkan bahwa pemimpin daerah yang sukses di Indonesia umumnya menunjukkan kombinasi gaya transformatif dan relasional, tetapi studi tersebut hanya memberikan deskripsi normatif tanpa menganalisis secara mendalam struktur kepemimpinan yang digunakan atau proses sosial-politik di baliknya.
Kondisi ini kontras dengan data empiris yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik dan birokrasi formal di Indonesia cenderung rendah. Laporan Edelman Trust Barometer (2023) mengindikasikan bahwa hanya sekitar 52% warga Indonesia yang mempercayai lembaga pemerintahan, dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi justru diberikan kepada individu atau figur publik ketimbang institusi formal. Hal ini menunjukkan pentingnya dimensi personal dalam kepemimpinan lokal, yang sering kali diabaikan oleh pendekatan teoritis konvensional.
Lebih jauh, studi oleh Bjørnskov dan Méon (2022) dalam Public Choice menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan publik di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh persepsi legitimasi pemimpin yang bersumber dari keterlibatan langsung dengan masyarakat. Artinya, efektivitas seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh struktur kelembagaan atau desain program, tetapi juga oleh relasi sosial yang dibangun secara kultural dan komunikatif. Ini semakin memperjelas bahwa model kepemimpinan seperti yang diperlihatkan oleh Kang Dedi Mulyadi—yang memadukan visi transformatif dengan keintiman sosial dan partisipasi digital—merupakan fenomena yang penting untuk dikaji lebih dalam secara ilmiah.
Kelemahan dari literatur saat ini adalah kecenderungan
untuk melihat gaya kepemimpinan secara dikotomis—antara otoriter dan
demokratis, antara birokratis dan karismatik—tanpa cukup ruang untuk
menganalisis bentuk-bentuk kepemimpinan yang fleksibel dan kontekstual.
Padahal, konteks Indonesia dengan budaya kolektif, nilai kekerabatan yang kuat,
serta transformasi digital di ranah politik lokal menuntut pembacaan baru
terhadap teori kepemimpinan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menjembatani
kesenjangan tersebut dengan mengusulkan analisis berbasis kasus terhadap model
kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi sebagai manifestasi dari hibriditas gaya
kepemimpinan transformasional dan partisipatif dalam konteks sosial-politik
Indonesia kontemporer.
Kepemimpinan KDM: Antara Karisma dan Keterlibatan Warga
Sebagai mantan Bupati Purwakarta yang kini dikenal sebagai figur publik nasional, Kang Dedi Mulyadi (KDM) memperlihatkan pola kepemimpinan yang unik dan kontekstual. Gaya komunikasinya yang membumi, sering kali tanpa sekat formalitas, mencerminkan upaya membangun kedekatan dengan masyarakat akar rumput. Ia kerap turun langsung ke lapangan, menyapa pedagang, petani, hingga tukang becak, sembari mendengarkan keluhan mereka dan memberikan solusi langsung, bahkan kadang bersifat spontan dan personal. Pendekatan ini tidak sekadar menunjukkan kehadiran fisik seorang pemimpin, tetapi juga mengandung dimensi strategis dalam membangun legitimasi sosial berbasis interaksi nyata.
Di sisi lain, karisma dan visi jangka panjang yang diusung KDM dalam pembangunan identitas kultural Purwakarta menempatkannya pula dalam kerangka kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Transformational leadership, sebagaimana dijelaskan oleh Bass dan Riggio (2006), merupakan model kepemimpinan yang bertumpu pada inspirasi, idealisasi, dan kemampuan mentransformasi nilai-nilai serta orientasi kolektif melalui narasi visi dan perubahan. Dalam konteks Purwakarta, KDM mendorong revitalisasi situs budaya lokal, memperkenalkan kembali nilai-nilai tradisi Sunda, serta merancang arsitektur pemerintahan dengan elemen estetika budaya sebagai simbol integrasi antara pembangunan dan jati diri lokal. Langkah ini bukan hanya strategi pembangunan fisik, tetapi juga pembentukan narasi identitas kolektif yang menyasar aspek emosional dan psikososial masyarakat.
Kepemimpinan transformasional menekankan empat elemen utama: idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration (Bass & Avolio, 1994). Dalam konteks KDM, kita melihat bagaimana idealized influence hadir melalui citra publiknya yang bersih dan membela wong cilik; inspirational motivation muncul melalui narasi-narasi publiknya yang mengangkat nilai kebajikan dan etika sosial; intellectual stimulation tampak dari upayanya mengintegrasikan budaya dalam tata kelola pemerintahan; dan individualized consideration tercermin dalam perhatiannya terhadap persoalan rakyat secara langsung dan personal.
Yang menarik, kedua pendekatan ini—transformasional dan partisipatif—tidak saling meniadakan. Justru, dalam konteks kepemimpinan kontemporer, integrasi keduanya dianggap sebagai bentuk kepemimpinan yang paling efektif, khususnya dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi demokratis dan digitalisasi. Menurut studi oleh Arnold et al. (2021) dalam Leadership Quarterly, kombinasi antara visi transformasional dan keterlibatan partisipatif mampu menciptakan kepemimpinan yang berkelanjutan, adaptif, dan berbasis kepercayaan. Hal ini relevan dengan praktik KDM, yang secara simultan mengelola aspek simbolik dari kepemimpinan (dalam bentuk narasi budaya dan identitas) serta aspek operasional (melalui keterlibatan langsung dan pemanfaatan platform digital).
Selain itu, studi oleh Lemoine et al. (2019) menunjukkan bahwa pemimpin yang mengadopsi pendekatan "humble and empowering leadership"—yang menggabungkan karisma dengan keterlibatan aktif—lebih mampu membangun kinerja tim yang kolaboratif dan adaptif terhadap kompleksitas sosial. Dalam praktik KDM, kerendahan hati ditampilkan melalui gaya berpakaian sederhana, bahasa yang membumi, dan kesediaan untuk mendengar, sementara pemberdayaan dilakukan melalui dorongan kepada masyarakat untuk memelihara warisan budaya dan terlibat aktif dalam pembangunan komunitas.
Dengan demikian, kepemimpinan KDM bukanlah contoh ekstrem
dari salah satu gaya kepemimpinan semata, tetapi justru memperlihatkan model
hibrid yang memadukan kekuatan transformasional dan partisipatif dalam satu
figur. Karisma tidak menjadi alat dominasi, melainkan media komunikasi nilai;
partisipasi bukan hanya prosedural, tetapi juga emosional dan sosial. Inilah
bentuk kepemimpinan yang kontekstual, relasional, dan relevan dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia kontemporer yang makin terbuka, namun tetap menjunjung
nilai-nilai komunal dan identitas lokal.
Efektivitas Dua Gaya Kepemimpinan
Efektivitas suatu gaya kepemimpinan sering kali menjadi perdebatan dalam studi manajemen publik dan ilmu pemerintahan, terutama ketika diterapkan dalam konteks pemerintahan lokal di negara berkembang. Kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan partisipatif menjadi dua model yang paling banyak diteliti dan diaplikasikan, meskipun hasil empirisnya masih menunjukkan kompleksitas yang kontekstual dan tidak selalu linier.
Studi meta-analitik oleh Hoch et al. (2018) dalam Journal of Organizational Behavior menemukan bahwa kepemimpinan transformasional secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan motivasi intrinsik, komitmen terhadap organisasi, serta produktivitas karyawan. Penelitian ini, yang mencakup berbagai sektor termasuk sektor publik, menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional menciptakan rasa makna dalam pekerjaan dan mendorong inovasi melalui visi yang menginspirasi. Hal ini memberikan dasar teoritis bahwa model transformasional cocok diterapkan dalam organisasi pemerintahan yang tengah mengalami reformasi atau perubahan struktural.
Namun, dalam konteks pemerintahan lokal—khususnya di masyarakat yang memiliki kompleksitas sosial dan tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi formal—gaya transformasional belum tentu memadai secara tunggal. Wang dan Howell (2020) dalam Academy of Management Journal menekankan bahwa kepemimpinan partisipatif memiliki kekuatan tersendiri dalam membangun legitimasi sosial dan trust di antara warga. Pendekatan partisipatif memungkinkan masyarakat merasa menjadi bagian dari proses, bukan sekadar objek kebijakan. Trust ini, menurut mereka, adalah modal sosial yang sangat krusial bagi keberhasilan kebijakan publik jangka panjang, terutama di wilayah-wilayah dengan pluralitas sosial tinggi dan sejarah marginalisasi oleh negara.
Di Indonesia, studi lapangan memperlihatkan bahwa gabungan kedua gaya tersebut—transformasional dan partisipatif—sering kali menjadi formula yang paling adaptif dan efektif. Riani et al. (2020) dalam International Journal of Public Leadership meneliti beberapa kepala daerah di Indonesia dan menemukan bahwa pemimpin yang mampu menyelaraskan visi jangka panjang dengan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan menunjukkan tingkat keberhasilan program yang lebih tinggi, serta respon positif dari publik terhadap kepemimpinan tersebut. Dalam konteks ini, pemimpin tidak hanya menjadi sumber inspirasi, tetapi juga fasilitator dialog dan kolaborasi.
Meski banyak studi mendukung efektivitas gaya hibrida
ini, sejumlah penelitian juga memberikan catatan kritis. Tourish (2020) dalam
The Leadership Quarterly memperingatkan bahwa dalam praktiknya, kepemimpinan
transformasional dapat tergelincir menjadi bentuk karismatis personalistik yang
berpotensi menutup ruang kritik dan pelembagaan sistem. Pemimpin yang terlalu
menonjol secara simbolik dapat menimbulkan efek dependensi publik pada figur,
bukan pada proses dan institusi. Hal ini mengancam prinsip keberlanjutan
kebijakan serta melemahkan kapasitas kelembagaan jangka panjang.
Di sisi lain, studi oleh Getha-Taylor et al. (2019) mengkritisi kepemimpinan partisipatif yang bersifat pseudo-participatory, di mana partisipasi hanya bersifat simbolis atau komunikasi satu arah, tanpa benar-benar memberikan pengaruh terhadap keputusan strategis. Dalam kasus seperti ini, partisipasi justru digunakan sebagai alat legitimasi, bukan sebagai mekanisme deliberatif yang sejati.
Dari dialektika antara argumen pro dan kontra, dapat disimpulkan bahwa efektivitas gaya kepemimpinan transformasional dan partisipatif sangat ditentukan oleh konteks sosial-politik dan struktur kelembagaan tempat gaya tersebut diterapkan. Dalam konteks Indonesia—yang ditandai oleh kultur patronase, kuatnya nilai kekerabatan, dan rendahnya trust terhadap lembaga formal—figura pemimpin yang karismatik sekaligus partisipatif justru bisa memainkan peran strategis dalam menjembatani masyarakat dengan negara.
Kang Dedi Mulyadi (KDM) tampaknya merepresentasikan sintesis dari kedua pendekatan tersebut. Ia memproyeksikan diri sebagai pemimpin visioner—dengan narasi pembangunan berakar budaya—sekaligus menjalin keterlibatan sosial secara langsung melalui interaksi informal dan digital. Pemanfaatan media sosial sebagai ruang partisipatif baru bukan hanya sarana komunikasi, melainkan juga medium untuk membangun kepercayaan, transparansi, dan partisipasi warga secara real-time. Hal ini memberikan contoh bagaimana kepemimpinan hibrid dapat dimanifestasikan secara kontekstual dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Dengan demikian, KDM bukan sekadar menerapkan dua gaya
kepemimpinan secara paralel, tetapi mengintegrasikannya dalam satu kerangka
operasional yang reflektif terhadap kebutuhan sosial dan simbolik masyarakat
lokal. Model ini memberikan kontribusi penting bagi wacana kepemimpinan lokal
di Indonesia: bahwa efektivitas bukan hanya hasil dari kepatuhan terhadap
teori, tetapi dari kemampuan pemimpin membaca konteks, membangun relasi
emosional, dan melembagakan kepercayaan publik.
Tantangan dan Kritik
Meski model kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi (KDM) memperoleh banyak apresiasi karena dianggap berhasil menjembatani nilai-nilai lokal dengan praktik kepemimpinan yang modern dan komunikatif, pendekatannya tetap mengundang beragam kritik, terutama terkait karakter personalistik dan dominasi karisma dalam model relasional yang ia bangun. Sebagian kalangan akademik dan praktisi pemerintahan memandang bahwa gaya kepemimpinan seperti ini berisiko melahirkan ketergantungan struktural masyarakat terhadap figur, bukan terhadap sistem atau kelembagaan demokratis yang berkelanjutan.
Pendekatan KDM yang sangat karismatik, berbasis relasi
personal, serta sarat simbolisme budaya, dapat dikategorikan sebagai varian
dari kepemimpinan populis-kultural, yakni gaya kepemimpinan yang menekankan
kedekatan dengan rakyat secara emosional, namun sering kali tidak diimbangi
dengan pelembagaan proses partisipatif secara sistemik. Dalam konteks ini,
Tourish (2020) dalam The Leadership Quarterly memperingatkan bahwa karisma yang
tidak diiringi pelembagaan mekanisme check-and-balance dapat mengarah pada
fenomena personalisasi kekuasaan. Pemimpin menjadi pusat dari seluruh proses
pengambilan keputusan, dan partisipasi masyarakat terbatas pada interaksi
simbolik, bukan deliberasi substantif.
Studi lain oleh Petriglieri & Petriglieri (2020) menyoroti fenomena serupa dalam organisasi modern, di mana figur pemimpin karismatik berperan sebagai “penyelamat” yang menciptakan rasa aman dan identitas, namun dalam jangka panjang justru menghambat kemandirian institusi. Dalam konteks pemerintahan lokal, fenomena ini dapat terlihat ketika masyarakat lebih menanti keputusan atau tindakan pribadi dari pemimpin ketimbang menyalurkan aspirasi melalui prosedur kelembagaan yang telah ditetapkan.
Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2023) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemimpin lokal secara personal jauh lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan kepercayaan terhadap institusi pemerintah daerah secara umum (43%). Angka ini memperkuat hipotesis bahwa masyarakat Indonesia cenderung menaruh kepercayaan pada figur ketimbang institusi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan pembangunan kapasitas kelembagaan dan menciptakan ketergantungan yang tidak sehat, terutama jika terjadi pergantian kepemimpinan.
Hal ini juga diperkuat oleh temuan World Bank (2022) dalam laporannya “Navigating Local Governance in Indonesia”, yang menyoroti lemahnya sistem partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan di banyak daerah, meskipun secara simbolik pemimpin menunjukkan keterbukaan dan komunikasi intensif dengan masyarakat. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa masih banyak partisipasi yang bersifat tokenistic—di mana warga hanya dilibatkan pada tahap sosialisasi, bukan pada pengambilan keputusan yang sesungguhnya.
Tantangan terbesar dari model kepemimpinan seperti yang dianut oleh KDM adalah bagaimana mengubah relasi personal menjadi relasi kelembagaan, dan bagaimana mengalihkan loyalitas dari figur ke sistem. Dalam hal ini, partisipasi tidak cukup hanya dimediasi melalui media sosial atau pertemuan simbolik, tetapi harus disertai dengan desain kebijakan yang memungkinkan warga berpartisipasi dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi secara substantif dan berkelanjutan.
Menurut Ansell & Gash (2008) dalam Journal of Public Administration Research and Theory, partisipasi warga yang efektif memerlukan institusionalisasi dalam bentuk mekanisme dialog kolaboratif, akses informasi yang setara, dan kapasitas warga untuk terlibat secara kritis. Tanpa itu, pendekatan partisipatif hanya akan menjadi instrumen legitimasi politik, bukan pemberdayaan sejati.
Namun, penting juga untuk tidak serta-merta menafikan peran karisma dan personalitas dalam konteks demokrasi lokal di Indonesia. Dalam banyak kasus, termasuk kepemimpinan KDM, karisma justru menjadi titik masuk untuk membangun trust awal, yang dalam kondisi tertentu sangat sulit dicapai melalui mekanisme birokratis yang lamban dan terkesan elitis. Oleh karena itu, alih-alih menolak karisma, yang dibutuhkan adalah strategi pelembagaan nilai-nilai yang dibawa oleh figur tersebut.
Kuncinya adalah transisi dari kepemimpinan berbasis figur
ke kepemimpinan berbasis sistem, dengan menjadikan nilai-nilai yang
diperjuangkan—seperti kedekatan dengan rakyat, pelestarian budaya, dan
transparansi digital—sebagai prakarsa kebijakan formal, bukan sekadar praktik
personal. Hal ini sejalan dengan konsep transformasi simbolik ke institusional
dalam kepemimpinan publik (Van Wart, 2013), yakni proses ketika karakteristik
positif dari seorang pemimpin diadopsi dan diinternalisasi oleh sistem pemerintahan.
Kesimpulan: Model KDM, Gaya Baru Kepemimpinan Lokal?
Dalam era digital yang semakin transparan dan masyarakat yang semakin kritis terhadap kekuasaan, model kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi (KDM) tampil sebagai salah satu alternatif yang patut dicermati secara serius. Ia menawarkan wajah kepemimpinan yang tidak terjebak dalam dikotomi klasik antara gaya transformasional yang elitis dan gaya partisipatif yang prosedural. Sebaliknya, KDM memadukan karisma personal, narasi budaya, dan komunikasi akar rumput dengan visi pembangunan jangka panjang dan penggunaan teknologi digital untuk memperluas partisipasi warga.
Berbagai kajian teoritis dan data empiris yang telah diuraikan dalam artikel ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan hibrid seperti yang diaktualisasikan oleh KDM memiliki kekuatan adaptif dalam konteks sosial-politik Indonesia yang plural, berakar budaya, dan belum sepenuhnya didukung oleh kelembagaan yang kokoh. Namun demikian, model ini juga tidak lepas dari kritik dan tantangan serius, terutama terkait risiko personalisasi kekuasaan dan simbolisasi partisipasi tanpa pelembagaan yang kuat.
Oleh karena itu, artikel ini tidak hanya ingin mengapresiasi figur KDM sebagai contoh sukses kepemimpinan lokal, tetapi juga mengajak pembaca—terutama kalangan akademisi, peneliti kebijakan, dan pemimpin daerah—untuk melihat lebih jauh potensi transformatif dari model ini bila diterapkan dengan prinsip keseimbangan antara figur dan sistem, nilai dan institusi, serta emosi dan rasionalitas kebijakan.
Dengan pendekatan reflektif, analitis, dan berbasis
literatur ilmiah mutakhir, artikel ini diharapkan dapat menjadi rujukan awal
bagi pengembangan wacana dan praktik kepemimpinan lokal yang lebih kontekstual,
demokratis, dan berorientasi pada pemberdayaan warga. Di tengah krisis
kepercayaan terhadap elit politik dan stagnasi dalam reformasi birokrasi, model
KDM bisa menjadi inspirasi bagi kepemimpinan daerah di Indonesia yang ingin
tampil lebih humanis, relevan, dan efektif di mata rakyatnya.






0 komentar:
Posting Komentar